FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menyoroti rangkaian kebijakan yang diambil langsung oleh Presiden Prabowo Subianto dan menyebutnya sebagai bentuk intervensi yang tak lazim dalam sistem pemerintahan.
Dikatakan Anthony, intervensi ini bukan hanya menunjukkan krisis koordinasi, tetapi juga mengindikasikan adanya duri dalam kabinet yang menghambat jalannya roda pemerintahan.
Anthony menyinggung pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) di pulau-pulau kecil di Raja Ampat, Papua Barat Daya, sebagai salah satu contoh intervensi langsung Presiden Prabowo.
Kebijakan itu diumumkan lewat Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, dan menurut Anthony, mencerminkan adanya masalah besar dalam proses perizinan sebelumnya.
“Intervensi pencabutan izin usaha pertambangan ini menandakan ada masalah besar dalam pemberian izin usaha pertambangan tersebut, yang tentu saja mengarah pada pelanggaran serius,” ujar Anthony kepada fajar.co.id, Rabu (11/6/2025).
Selain itu, Anthony menyoroti langkah Presiden Prabowo yang membatalkan kebijakan distribusi elpiji 3 kg sehari setelah kebijakan itu diterapkan oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia.
Kebijakan tersebut sebelumnya sempat menimbulkan kekacauan hingga mengakibatkan antrean panjang dan bahkan korban jiwa.
“Kemungkinan besar, kebijakan tersebut diambil atas inisiatif Bahlil sendiri, tanpa dikomunikasikan terlebih dahulu dengan Presiden,” sebutnya.
Tak hanya di sektor energi, Anthony juga menyoroti intervensi Presiden di Kementerian Keuangan, yakni dengan mengganti Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai dengan orang-orang dekat Presiden.
Langkah ini dinilai sebagai respons terhadap anjloknya penerimaan negara pada triwulan pertama 2025 yang hanya mencapai 14,7 persen dari target APBN.
“Rasio pajak terhadap PDB pada Q1/2025 anjlok tajam menjadi hanya 5,7 persen saja. Sangat memprihatinkan. Rasio serendah ini sudah dapat dikatakan masuk kategori krisis fiskal,” ungkapnya.
Kata Anthony, intervensi terhadap struktur penerimaan negara juga berhubungan dengan rencana Prabowo membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) yang hingga kini belum terealisasi.
Intervensi lain yang disorot antara lain, perintah kepada TNI untuk membongkar pagar laut di utara Tangerang, pengamanan Kejaksaan, serta pencopotan dan pembatalan pencopotan Jenderal Kunto Arief Wibowo sebagai Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I, yang dinilai sarat muatan politik.
Anthony menilai, rangkaian tindakan tersebut menandakan tidak sehatnya dinamika internal kabinet.
“Berbagai intervensi yang dilakukan oleh Presiden seperti dijelaskan di atas sangat tidak lazim terjadi dalam sebuah pemerintahan. Hal ini menunjukkan secara jelas, ada duri dalam kabinet Prabowo,” Anthony menuturkan.
Ia pun menegaskan, Presiden Prabowo harus segera melakukan perombakan, mengganti menteri-menteri yang dinilai tidak loyal atau tidak sejalan, demi memastikan efektivitas pemerintahan dan jalannya agenda strategis nasional.
(Muhsin/fajar)