FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Polemik internal Partai Amanat Nasional (PAN) terus memanas. Kali ini datang dari Jengiskan, salah satu kader muda PAN dari Banten.
Ia melontarkan kritik pedas terhadap Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, yang menurutnya lebih mengandalkan pendekatan transaksional ketimbang ideologis dalam membangun partai.
“Zulkifli Hasan bukan politisi biasa. Ia bukan orator hebat, bukan pemikir murni, dan bukan juga teknokrat tulen. Tapi ia paham satu hal, membaca peta kekuasaan dengan insting dagang,” ujar Jengiskan dikutip dari laman sulsel.fajar.co.id, Rabu (11/6/2025).
Dikatakan Jengiskan, Zulkifli Hasan atau Zulhas adalah figur politikus yang lihai berdagang pengaruh.
Ia menggambarkan Zulhas sebagai pedagang politik yang piawai, yang menjual loyalitas ke atas dan merajut pengaruh ke bawah, dengan harga yang menyesuaikan pembelinya.
Dalam analisisnya yang berbasis pada data internal, Jengiskan menyebut bahwa kekuatan Zulhas tidak bersumber dari gagasan atau ide-ide besar, melainkan pada kemampuannya membangun dan mengatur jaringan distribusi kekuasaan di dalam tubuh partai.
“Zulhas tak membangun partai. Ia membangun pasar. Dan PAN adalah kiosnya,” tegasnya.
Data internal yang diungkapnya menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen struktur partai di daerah dikendalikan oleh loyalis Zulhas, bukan berdasarkan kapasitas kepemimpinan atau gagasan, tetapi karena hubungan transaksional dan loyalitas struktural.
Lebih lanjut, ia menyoroti gaya manajemen konflik yang diterapkan Zulhas, yang menurutnya bersifat pragmatis dan jangka pendek.
Ketika terjadi konflik di tingkat bawah, bukannya menyelesaikan secara adil, konflik justru diselesaikan dengan bagi-bagi posisi atau insentif.
"Ia tidak menjahit luka, tapi menutupnya dengan uang saku. Praktis. Efektif. Tapi jangka pendek. Dan akhirnya partai tumbuh seperti tubuh yang penuh tambalan,” tambah Jengiskan.
Ia juga mengkritik pendekatan elitis Zulhas yang lebih mengandalkan jaringan kekuasaan di pusat ketimbang mendengarkan suara kader di akar rumput. Menurut Jengiskan, ini membuat partai kehilangan arah perjuangan yang autentik.
“Zulhas paham satu hal penting, jaringan istana lebih kuat dari suara akar rumput. Maka ia tak peduli berapa banyak kader muda yang kecewa, asal satu dua elit kekuasaan tersenyum,” jelasnya.
Jengiskan bilang, Zulhas merupakan figur yang sangat fleksibel secara politik, tetapi justru kehilangan identitas ideologis. Baginya, sikap yang terlalu pragmatis bisa menjadi kelemahan fatal di masa depan.
“Zulhas bukan ancaman karena kekuatan intelektualnya. Ia berbahaya karena tidak punya beban ideologis… seperti algoritma Google, berubah sesuai tren,” katanya.
Tambahnya, kekuasaan tanpa fondasi nilai akan mudah runtuh jika tantangan datang dari generasi muda yang membawa keberanian dan semangat perubahan.
"Maka saat kader muda bangkit, saat akar rumput mulai bersuara, Zulhas hanya punya satu pilihan, bernegosiasi, atau tersapu,” kuncinya. (Muhsin/Fajar)