Masalah Tambang Nikel dan Solusinya

  • Bagikan
Ahmad Yani. Pemerhati Pertambangan dan Lingkungan

Oleh: Ahmad Yani. Pemerhati Pertambangan dan Lingkungan.

Carut marutnya Pengelolaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Indonesia, disebabkan beberapa hal antara lain;

  1. Bermula saat kewenangan Kepada Daerah melalui kebijakan desentralisasi pertambangan melalui UU Otonomi Daerah 1999. Kesalahan pemahaman oleh Pemerintah daerah khususnya dalam UU No 4 Tahun 2009 adalah memaknai desentralisasi yang telah menyebabkan terjadinya bahwa eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, masih diwarnai oleh paradigma yang menilai sumber daya sebagai sumber pendapatan ketimbangan modal.

Di sisi lain bahwa tenaga teknis pertambangan yang memproses IUP di Pemerintah Kabupaten saat desentralisasi belum cukup. Sehingga proses terbitnya SK. IUP eksploirasi dan produksi cenderung formalitas tanpa penilaian komprehensip dan seksama.

Akibatnya beberapa IUP produksi tidak beroperasi sebagaimana mestinya, karena berbagai faktor, diantaranya potensinya kadar logam atau nikel rendah dan tidak ekonomis apabila ditambang. Disamping alasan lainnya seperti berada pada kawasan lindung yang bertentangan dengan UU Kehutanan.

Akhirnya kewenangan pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kembali kepada pemerintah pusat melalui perrubahan terhadap UU No 4 Tahun 2009 melalui UU No 3 Tahun 2020 menandai adanya pengalihan kembali ke sistem yang sentralistis, namun hasil belum oprimal.

  1. Manajemen perencanaan perusahaan pemegang izin (IUP), tidak dilaksanakan secara komprehensif dan holistik, khususnya data-data eksplorasi tidak disajikan secara lengkap sesuai kondisi lapangan, sehingga pada saat kegiatan eksploitasi cenderung “gembling” karena tidak dilengkapi dengan data akurat sesuai kaidah pertambangan. Akibatnya metode penggalian tidak ekonomis dan merusak sumber daya alam dan lingkungan serta merugikan investor sendiri.
  2. Kapasitas terpasang industri smelter di Indonesia sangat besar, sehingga produksi biji nikel Indonesia melampaui kebutuhan nikel dunia. Untuk tahun 2024 kebutuhan nikel dunia sebesar 4,1 juta metrik ton, sedangkan Indonesia jumlah produksi nikel Indonesia sebesar 22.925.207 ton per tahun yang dihasilkan dari 44 smelter yang beroperasi di Indonesia, dan 21 smelter yang masih dalam konstruksi.
    Artinya bahwa rasio antara kapasitas terpasang industri smelter Indonesia dibandingkan dengan kebutuhan adalah 297,30% lebih besar.

Jumlah IUP 292 dan KP 4 dan Produksi Nikel Indonesia

Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (Ditjen Ilmate) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyampaikan total industri smelter nikel yang beroperasi hingga maret 2024 ini sebanyak 44 smelter. Taufik Bawazier dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama komisi VII DPR RI, di Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (19/3/2024). menerangkan hingga maret 2024 total keseluruhan industri smelter beroperasi di Indonesia berjumlah 54 smelter.
Sementara, 21 smelter yang masih dalam konstruksi. Dari data industri smelter yang dimiliki Ditjen Ilmate, tercatat kondisi konstruksi smelter nikel berjumlah 19, feasibility study atau metode analisis berjumlah 7 dan total keseluruhan 70 kondisi industri smelter nikel.

Adapun letak dan jumlah smelter nikel masing masing wilayah, yaitu 5 smelter nikel di Banten. Maluku Utara 18 smelter nikel. Sulawesi Selatan 1 smelter nikel. Sulawesi Tengah 17 smelter nikel dan Sulawesi Tenggara 3 smelter nikel yang tengah beroperasi.

Di wilayah Banten, kapasitas produksi nikel per tahun sebesar 544.685 ton. Di wilayah Maluku Utara memproduksi sebesar 6.255.938 ton. Sulawesi Selatan tercatat berproduksi sebesar 50.000 ton nikel. Sulawesi Tengah memproduksi 10.374.584 ton dan Sulawesi Tenggara sebesar 5.700.00 ton nikel per tahun. Sehingga total kapasitas produksi nikel dari smelter yang beroperasi sebanyak 22.925.207 ton per tahun.

Cadangan bijih nikel dunia adalah 11,7 milyar Ton dan 4,5 Milyar Ton terdapat di Indonesia atau sekitar 38,46% cadangan Nikel dunia. Dalam studi eksploitasi logam terdapat metodologi untuk menetapkan cadangan yakni, terekah, tertunjuk, terukur dan terbukti.

Permasalahan IUP Pertambangan Nikel

Penulis akan membahas ketiga permasalahan pokok di atas sebagai fenomena yang terjadi disektor pertambangan nikel saat ini. Yang sedang disorot adalah IUP nikel di Raja Ampat dan banyak lagi IUP bermasalah di tempat lain yang sudah mendapat Surat Keputusan IUP produksi, namun tidak beroperasi sebagaimana mestinya, karena berbagai alasan, diantaranya potensinya kadar nikel rendah dan tidak ekonomis.

Disamping alasan lainnya seperti berada pada kawasan lindung yang bertentangan dengan UU Kehutanan. Menunggu perubahan status kawasan lindung menjadi hutan produksi kemudian mendapatkan izin. Permasalahan ini diduga akibat proses peneribitan IUP pada masanya tidak terlaksana sesuai kaidah dan aturan sebagaimana mestinya oleh instansi berwewenang.

Konsep perencanaan dan pengeloaan sektor pertambangan khususnya produksi nikel di Indonesia kurang baik, khususnya tahapan penggalian dan penambangan ore nikel di tingkat tapak, dimana areal penggalian luas dan titik koordinat yang akan tambang sesuai Rencana Kerja Tahunan (RKAB), cenderung tidak akurat bahkan ada yang tanpa batas yang jelas.

Demikian pula rencana pengelolaan lingkungan pasca tambang yakni reklamasi dan revegetasi terkesan tidak sesuai kaidah konservasi lahan dan hutan. Perencanaan penjualan hasil ore nikel ke smelter khusunya pada IUP yang tidak terintegrasi dengan smelter, seolah-olah ore nikel adalah komoditas yang dapat di jual bebas.

Pada era Pemerintah Desentralisasi pemberian IUP kewenangan di tangan Bupati, dan Gubernur. Pada Era ini dokumen persyaratan teknis, administrasi dan persyaratan lingkungan terkesan sekedar memenuhi persyaratan aturan yang berlaku saat itu, tanpa telaan data kondisi lapangan secara seksama, sehingga dokumen teknis, dokumen lingkungan dan dokumen lainnya sebagai syarat terbitnya IUP Produksi terdapat masalah.

Baik bermasalah pada aspek potensi mineralnya yang tidak ekonomis, karena tidak berada pada batuan pembawa mineral, tapi berada pada kawasan kars batuan gamping, atau berada pada kawasan lindung atau hutan produksi yang status restorasi alam serta bermasalah karena over-lapping dengan kawasan perkebunan, lahan milik masyarakat atau lokasi IUP berada di area perkampungan.

Pelaksanaan eksplorasi yang tidak komprehensif dan tidak detail akan “menipu” studi kelayakan dan dokomen lainnya. Padahal studi eksplorasi sangat penting dan urgen guna mengetahui potensi terkira dan terukur, khususnya untuk mengetahui jumlah kandungan mineral bahan galian tambang di dalam areal IUP.

Data terkira, data terukur harus tersaji secara benar sesuai data booring yang mencamtumkan jumlah dan kualitas persentase isi kandungan bahan tambang sesuai kondisi lapangan. Seharusnya data eksploirasi sudah menampilkan data sebaran potensi yang sesuai kondisi lapangan dilengkapai dengan peta dengan titik koordinat yang jelas.

Fakta lapangan menunjukkan beberapa IUP Produksi komoditi nikel yang sudah terbit izinnya dan sudah ditayangkan di website Kementerin ESDM (MODI), baik di Sulawesi Tengah dan Tenggara potensinya tidak berada pada lokasi yang mengandung unsur logam khususnya batuan ultra-basal atau ultra mafik, namun berada pada kawasan bukan logam seperti kawasan kars (batuan gamping) dan IUP tersebut sampai saat ini tidak dapat beroperasi.

Masalah lain adalah, kapasitas terpasang industri smalter di Indonesia lebih besar dari kebutuhan dunia. Hal ini tentunya akan memicu eksplorasi besar-besaran cadangan sumber daya nikel Indonesia yang jumlah mencapai 4,5 milyar MT atau sekitar 38,64% cadangan nikel dunia. Kondisi ini tentunya tidak menguntungkan bagi Indonesia masa akan datang atau Indonesia sedang “mengobral dan menguras” sumber daya alamnya, karena kapasitas terpasang smelter untuk produksi nikel Indonesia melebihi kebutuhan dunia.

Kondisi ini akan mengeksploitasi cadangan nikel indonesia secara “jorjoran” guna memenuhi kapasitas terpasang di masing-masing smelter. Mengapa Pemerintah Indonesia tidak menyesuaikan produksi bijih nikel sesuai kebutuhan pasar dunia, agar kelak Indonesia mendapatkan nilai tambah dan nilai jual yang lebih baik pada masa depan. Sementara predeksi kebutuhan bijih nikel dunia meningkat pada tahun 2045 sebesar 7,4 juta MT.

Bilamana hal ini dibiarkan atau tidak dilakukan pembenahan dan evaluasi, maka dampaknya akan lebih dahsyat terhadap kerusakan sumber daya alam dan lingkungan serta merosotnya ekonomi masa depan Indonesia. Penulis memprediksi akan senasib dengan Pengelolaan Hutan Alam Indonesia pada masa lalu yang hancur akibat rasio kapasitas produksi pertumbuhan hutan alam dan industri terpasang melebihi riap produksi kayu

Koreksi Tata Kelola Pertambangan Berkelanjutan

Berdasarkan pengamatan penulis, sistem tata kelola perencanaan eksploitasi dan produksi ore nikel pada IUP pertambangan nikel, belum tertata secara rapih dan berkelanjutan. Idealnya perusahaan pemegang IUP memiliki perencanaan tambang jangka panjang sesuai umur tambang, jangka menengah lima tahunan dan rencana tahunan yang dibagi berdasarkan blok-blok rencana produksi, misalnya rencana kerja lima tahunan dan di break-down menjadi rencana kerja tahunan (RKAB).
Karena tanpa blok rencana produksi tahunan, maka perusahaan leluasa membuka lahan di dalam areal IUP, akibatnya luas bukaan lahan tidak terkontral.

Idealnya perusahaan pemegang IUP terlebih dahulu melaksanakan survai detail dengan metode standar seperti booring dengan pengambilan sample minimal 25 - 50 meter setiap titilk sample di seluruh lokasi izin. Guna untuk mengetahui besaran potensi nikel di areal yang akan ditambang, agar perusahaan memiliki data base jumlah terkira dan terukur di setiap tapak di dalam lokasi IUP.

Selanjutnya data ini disajikan minimal satu tahun sebelum pelaksanaan pertambangan (et-1 tahun). Dari data eksplorasi terukur ini menjadi bahan acuan pengajuan di dalam dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun berjalan. Dengan demikian pemerintah mendapatkan estimasi besaran rencana produksi dan dapat digunakan sebagai estimasi penerimaan negara pada tahun berjalan.

Pentingnya membuat dan membagi areal pertambangan dengan manajemen blok-blok rencana kerja yang dilengkapi dengan titik koordinat yang dilengkapi dengan data sampling hasil booring interval standar antara 25 – 30 meter setiap titik sampling serta profil ketebalan lapisan overburden, lapisan limonit, lapisan saprolit dan bedrock, maka minerba dan dinas terkait lainnya dapat mengontrol dengan teknik lacak / treking produksi ore pada areal bukaan sesuai RKAB tahun berjalan yang telah disyahkan. Hal ini akan menghindari adanya ilegal mining baik di dalam IUP sendiri maupun yang bersumber dari luar IUP perusahaan lain dengan menggunakan “dokumen terbang”

Apabila sistem ini diterapkan, maka areal-areal yang tidak potensial atau kadar nikel tidak ekonomis, maka perusahaan tidak perlu membuka areal yang kadar nikelnya tidak ekonomis sehingga kerusakan lingkungan dapat dihindari dan sudah barang tentu biaya pertambangan akan lebih efentif dan ekonomis karena berkurangnya biaya reklamasi dan revegetasi.

Dengan adanya data potensi nikel yang terukur, maka Minerba dapat menentukan jumlah kendaraan, peralatan dan pendukung lainnya yang akan digunakan untuk mendukung produksi sesuai rencana. Agar rasio alat berat dan rencana produksi bersesuaian antara rencana produksi dan penggunaan peralatan untuk produksi.

Saran-saran

Pemerintah atau Kementerian ESDM perlu membangun sistem verifikasi dan legalitas hasil tambang yang dilaksanakan oleh Lembaga Independen dengan tupoksi melaksanakan audit setiap IUP Produksi komoditi nikel dengan verifikasi terhadap dokumen legalitas, dokumen perencanaan produksi, rencana pengelolaan lingkungan, jumlah penggunaan tenaga kerja dan rencana penjualan hasil tambang dan lain-lain terkait.

Adapun parameter dan komponen yang diaudit dan diverifikasi adalah ;

  1. Dokumen legalitas perusahaan pemegang IUP yang terdiri dari dokumen akta pendirian perusahaan, SK. IUP Eksplorasi dan IUP Produksi, Studi Kelayakan, dokumen Amdal, rencana reklamasi dan revegetasi pasca tambang dan lain-lain seperti Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
  2. Dokumen Perencanaan perusahaan pemegang IUP, antara lain dokumen data - data eksplorasi detail, dokumen rencana produksi sesuai umur tambang, rencana lima tahunan dan RKAB tahun berjalan dan lain-lain.
  3. Dokumen rencana dan realisasi kegiatan pemulihan lingkungan dengan kegiatan reklamasi dan revegetasi pasca tambang serta pelaksanaan CSR.
  4. Tenaga kerja dan perlindungan tenaga kerja dan pelaksanaan manajemen K3 serta jumlah peralatan pokok dan peralatan pendukungnya
  5. Pelaksanaan CSR dan keamanan lingkungan sosial.

Bilamana perusahaan pemegangan IUP memenuhi syarat, maka dibuat sertifikat legalitas yang dikeluarkan oleh lembaga auditor independen dan apabila tidak memenuhi tidak diberikan izin produksi sebelum semuannya dilengkapi.

Sertfikat ini juga akan digunakan menjadi persyaratan penjualan atau suplay ore nikel untuk smelter, sehingga perusahaan IUP akan berupaya semaksimal mungkin mendapatkan sertifikat legalitas tambang.

Penutup

Kekayaan mineral logam nikel Indonesia, sebesar 4,5 Milyar Ton atau sekitar 38,46% cadangan bijih nikel dunia adalah 11,7 milyar Ton, sebagai asset negera harus dikelola secara hikmat dan bijaksana sesuai pasal 33 UUD 45 Ayat (3): Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Belajar dari pengelolaan hutan alam Indonesia yang hancur akibat tata kelola yang tidak memperhitungkan kelestarian atau keberlanjutan (sustainable), dimana kapasitas industri hasil hutan terpasang lebih besar dari produksi hutan alam. Akibatnya eksplotasi hutan cepat habis untuk memenuhi kebutuhan industri hasil hutan. Akankah ini terjadi lagi di sektor pertambangan nikel?.

Data menunjukkan akan terjadi eksplotasi sumber daya mineral nikel besar-besaran karena jumlah kebutuhan dan permintaan bahan baku ore untuk di pasok pada industri smelter yang jumlahnya akan mencapai 70 smelter 3 – 4 tahun ke depan. Akibatnya produksi bijih nikel asal Indonesia melebihi kebutuhan nikel dunia.
Seharusnya produksi disesuaikan permintaan pasar, agar nilai tambah dan nilai jual dapat dikontrol oleh pemerintah RI.

Kerusakan alam akibat eksplotasi berlebihan tidak dapat dihindari, hilangnya kekayaan dan keragaman hayati, fauna dan flora adalah harga yang harus dibayar mahal oleh pemerintah dan rakyat Indonesia. Maka Pemerintah harus berani menata ulang tata kelola pertambangan agar meminimalkan kerusakan alam Indonesia sebagai habitat biodiversity terbesar ke 2 dunia. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan