Sayangnya, dalam banyak kasus, perubahan yang dijanjikan atau didorong secara top-down tanpa pengelolaan proses yang memadai justru menimbulkan resistensi sosial, kegagalan implementasi, status quo baru atau bahkan disorientasi nilai.
Dalam dunia politik, perubahan seringkali dijadikan slogan utama dalam kampanye elektoral. Narasi perubahan diproyeksikan sebagai janji pembaharuan struktural dan perbaikan tata Kelola meskipun pada akhirnya tidak ada hal baru yang dilahirkan kecuali kendali kekuasaan karena memang pada prinsipnya didasari oleh keinginan berkuasa (nPow) sebagaimana dikemukakan oleh David C. McClelland (1961).
Namun, perubahan yang didorong tanpa basis analisis kebutuhan yang valid berisiko menjadi perubahan semu — sebuah "change for the sake of change". Pada titik ini, perubahan direduksi menjadi komoditas retoris yang mengedepankan citra semata, alih-alih menghasilkan dampak substantif yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, pendekatan akademik terhadap perubahan menuntut suatu kecermatan dalam membedakan antara perubahan yang bermakna dan perubahan yang bersifat superfisial. Oleh karena itu, Kurt Lewin (1947) mengembangkan model three-step change process yang hingga kini menjadi referensi utama dalam manajemen perubahan organisasi yang efektif.
Model tersebut terdiri atas tahap unfreezing, change, dan refreezing. Pada tahap unfreezing, individu dan kelompok diajak untuk melepaskan pola pikir dan kebiasaan lama. Proses ini esensial dalam membangun kesadaran kolektif akan perlunya perubahan.