Paradoks Perubahan: Ketika Transformasi Menjadi Status Quo Baru

  • Bagikan

Tanpa unfreezing yang efektif, perubahan cenderung memunculkan resistensi. Pada tahap change, transformasi aktual dilakukan melalui pengembangan perilaku (karakter), prosedur, atau sistem baru.

Akhirnya, tahap refreezing bertujuan memperkuat dan menstabilkan perubahan agar menjadi bagian integral dari budaya organisasi. Perubahan bukanlah proses linier yang dapat dipaksakan secara top-down.

Sebaliknya, perubahan merupakan fenomena kompleks yang memerlukan strategi komunikasi, pengelolaan dinamika sosial, dan penciptaan kondisi psikologis yang mendukung. Dalam praktiknya, resistensi terhadap perubahan adalah sesuatu yang alamiah. Argyris (1991) menyoroti bahwa resistensi tidak semata-mata berasal dari ketakutan terhadap hal baru melainkan juga terkait dengan ancaman terhadap identitas, rasa memiliki, atau struktur kekuasaan yang ada.

Selain itu, pengalaman traumatik terhadap perubahan yang gagal masa lampau memperkuat sikap skeptis. Oleh karena itu, proses perubahan yang etis perlu mengedepankan transparansi, partisipasi bermakna, dan penghormatan terhadap aspirasi pemangku kepentingan.

Kecenderungan elit kekuasaan atau manajemen untuk mengusung perubahan demi memenuhi agenda politik atau kepentingan citra diri tanpa mengindahkan prinsip-prinsip tersebut justru dapat memicu disintegrasi sosial.

Dengan demikian, masyarakat akademik, praktisi kebijakan, maupun pemimpin organisasi perlu senantiasa menerapkan kecerdasan kritis dalam merespons narasi perubahan. Perubahan sejati hendaknya diposisikan bukan sekadar sebagai strategi manajerial atau alat kampanye, melainkan sebagai proses transformatif untuk memperkuat nilai-nilai yang telah dibangun dan dibudayakan organisasi (budaya organisasi).

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan