SBY menekankan bahwa perdamaian Aceh bukan hasil yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan buah dari proses panjang dan penuh tantangan.
Ia mengingat kembali keterlibatannya dalam proses damai sejak awal dekade 2000-an.
“Perdamaian Aceh itu tidak datang dengan sendirinya. Prosesnya panjang, mengalami pasang dan surut. Selama lima tahun, 2001, 2002, 2003, 2004, dan 2005, saya menjadi salah satu pelaku bersama yang lain hadir di ruangan ini,” tuturnya.
Dengan suara penuh penghormatan, SBY juga menyebut peran para ulama dan tokoh lokal dalam mewujudkan perdamaian yang kini dinikmati.
Ia menyadari bahwa sebagian dari mereka telah wafat, sementara generasi penerus kini memikul tanggung jawab yang sama.
“Karena selama lima tahun itu saya tidak pernah berhenti memohon petunjuk kebersamaan dengan para alim ulama. Saya tahu sebagian sudah berpulang ke Rahmatullah, sebagian masih ada. Generasi keduanya sekarang menggantikan,” tandasnya.
Apa yang diungkapkan SBY menjadi dorongan publik agar pemerintah meninjau ulang keputusan administratif yang dinilai melukai Aceh secara historis dan simbolik.
SBY dikenal sebagai tokoh kunci dalam perjanjian damai Helsinki 2005 yang mengakhiri konflik panjang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI.
(Muhsin/fajar)