Tak heran jika reaksi di Aceh sangat keras. Gubernur Aceh menolak menggugat ke PTUN. DPR Aceh bersuara. Masyarakat adat ikut mengecam. Bahkan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla, yang dulu menjadi juru damai Helsinki, turut angkat bicara. Dan dalam konteks daerah yang memiliki sejarah separatisme, seperti Aceh, kehilangan kepercayaan adalah awal dari kehilangan kendali.
Jika menganggap ini berlebihan, lihatlah sejarah. Yugoslavia pernah berdiri tegak sebagai negara besar di Balkan, multi-etnis, multi-agama, dan multibudaya. Tak jauh beda dengan Indonesia. Bahkan, negara ini lebih beragam dibanding Yugoslavia. Negara itu bubar hanya karena luka-luka antar wilayah tak sepenuhnya dirawat dan disembuhkan. Pemicunya adalah ketidakadilan struktural dan perasaan tak didengar oleh pusat.
Spanyol juga merasakannya. Catalunya, wilayah maju dan bersejarah, berkali-kali meminta pengakuan identitas dan kedaulatan fiskal yang lebih adil. Madrid mengabaikan, bahkan membatalkan hasil referendum damai 2017. Hasilnya? Ratusan ribu turun ke jalan, elit politik dipenjara, dan luka sosial yang belum sembuh hingga kini. Spanyol selamat, tetapi cacat kepercayaan masih nyata.
Indonesia tak boleh berjalan ke arah itu. Kita memang bukan Spanyol, bukan Yugoslavia. Tapi kita punya kompleksitas yang sama: multi-etnis, beragam agama, sejarah kelam konflik bersenjata, dan warisan luka akibat sentralisme masa lalu.
Jangan Main Api di Ladang Sejarah
Empat pulau itu mungkin kecil. Tapi rasa keadilan itu luas. Jika pusat tak segera turun tangan dengan sikap negarawan, bukan sekadar birokratis, kita sedang mempertaruhkan sesuatu yang jauh lebih besar: keutuhan batin kebangsaan.