Laut, Doa, dan Perahu: Kearifan Maritim Suku Mandar dalam Naskah Lontara’ Pallopi-lopiang

  • Bagikan

Lontara’ Pallopi-lopiang tidak hanya menjadi catatan spiritual, tetapi juga pedoman teknis dan etis seorang ponggawa lopi. Seorang nakhoda harus memahami kondisi batin perahu melalui sentuhan tangan dan kaki. Jika badan perahu terasa hangat, diyakini perahu telah "bangun" dan siap melaut. Namun jika dingin, perahu dianggap belum siap dan dapat membawa celaka.

Sikap ponggawa lopi dalam menentukan arah pelayaran juga penuh pertimbangan batin. Dalam naskah, dijelaskan bahwa mereka lebih memilih "memburu rezeki" daripada "menabrak rezeki". Konsep ini menjadi panduan simbolik bahwa pelayaran harus dilakukan dengan niat yang tulus, bukan memaksakan kehendak pada alam dan takdir.

Islam sufistik menjadi pondasi spiritual dalam naskah ini. Doa-doa yang dilafalkan sebelum dan selama pelayaran adalah kombinasi antara ajaran Islam dan kepercayaan lokal yang dikenal dengan pamali dan ussul. Doa-doa ini tak sekadar pengharapan, tapi juga bentuk komunikasi batin dengan Sang Khalik, seperti dalam bacaan:

"Bismillahil Rahmanir Rafii’ir Rahiimi yuharrisuni min kulli maa yu’dzinii."
(Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang menjaga diriku dari segala sesuatu yang membahayakan diriku.)

Prosesi sakral dimulai sejak di rumah. Sang nakhoda duduk tafakkur, membayangkan dirinya memegang perahu, lalu melangkah keluar rumah dengan kaki kanan sambil menatap ibu jari sebagai kompas arah spiritual. Saat hendak naik ke perahu, dibacakan doa perjalanan:

"Alhamdu lillahil ladzii sakhkhara lanaa haadzaa wa maa kunnaa lahuu muqriniin. Wa innaa ilaa Rabbinaa lamunqolibuun."

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan