FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Perebutan wilayah menjadi perhatian serius akhir-akhir ini. Terbaru, Sulsel kehilangan wilayah seluas 6.575 km persegi.
Beberapa pekan terakhir perhatian tertuju pada sengketa kepemilikan empat pulau antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Hal itu bermula dari Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2 Tahun 2025.
Keputusan tersebut memicu konflik antarwilayah.
Melalui Kepmendagri tersebut, wilayah Sulsel berkurang 6.575 km persegi. Namun dalam Kepmendagri tersebut tidak dipaparkan secara detail terkait letak geografis batas wilayah Sulsel yang dikurangi.
Meski demikian, berkurangnya wilayah Sulsel dikait-kaitkan dengan status Pulau Kakabia. Pulau tersebut jadi rebutan Kabupaten Selayar (Sulsel) dengan Kabupaten Buton Selatan (Sultra). Pulau kecil di kaki Sulawesi itu memiliki potensi ekowisata.
Perebutan Pulau Kakabia sejak 2018. Pemkab Selayar kemudian mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Selayar mengklaim pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah mereka berdasarkan Permendagri Nomor 45 Tahun 2011.
Pemkab Selayar juga memperkuat fakta kepemilikan dengan pembangunan tugu pada 1971. Masyarakat setempat juga menyebut wilayahnya sebagai Salayara. Sementara Pemkab Buton Selatan mengklaim bahwa Pulau Kakabia atau Kawi Kawia dulunya merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Buton.
Batas wilayah terbaru yang diterbitkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menuai riuh. Hampir seluruh provinsi terdampak, termasuk Sulawesi Selatan.
Kemendagri melalui Direktorat Bina Administrasi Kewilayahan telah menerbitkan Kepmendagri Nomor 300.2.2 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, sejak April lalu. Dengan Kepmendagri tersebut, wilayah Sulsel berkurang 6.575 km persegi.
Dalam Kepmendagri tersebut, tidak dipaparkan secara detail terkait letak geografis batas wilayah Sulsel yang dikurangi.
Dampak dari Kepmendagri tersebut belum benar-benar usai. Bagi provinsi lainnya, termasuk Sulsel, butuh penjelasan lebih detail dari Kemendagri.
Dirjen Administrasi Kewilayahan Kemendagri Safrizal ZA pada saat launching dan sosialisasi Kepmendagri tersebut, Mei lalu menjelaskan, bahwa sistem pemerintahan di Indonesia dalam aspek kewilayahan bersifat dinamis.
Dia mengungkapkan, pemerintah menemukan unsur rupa bumi baru, desa baru, kecamatan, sampai provinsi baru, sehingga secara reguler batas wilayah perlu update. “Sehingga dapat dimanfaatkan secara administratif-konstruktif oleh semua pihak,” sambungnya.
Sebelumnya, Kemendagri telah menerbitkan Kepmendagri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022 sebagai dasar penetapan kode wilayah. Namun, seiring dinamika nasional dan kebijakan strategis, pembaruan dilakukan melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2 Tahun 2025.
Keputusan ini merupakan tindak lanjut dari upaya strategis untuk memperkuat basis data wilayah administrasi pemerintahan dan pulau yang akurat, mutakhir dan dapat diakses secara nasional.
“Kode wilayah administrasi dan pulau menjadi pondasi utama dalam proses perencenaan pembangunan, pelayanan publik, pengawasan, hingga tata kelola pemerintahan yang efektif dan efisien”, imbuh Safrizal.
Safrizal berharap dengan adanya data terbaru ini, seluruh pemangku kebijakan dapat menggunakan informasi tersebut sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan, demi kesejahteraan masyarakat.
“Dengan terbitnya kepmen ini maka akan lebih tertib administrasi, kepastian hukum dan perencanaan pembangunan termasuk perluasan investasi bagi kesejahteraan masyarakat,” tambah Safrizal.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.22-2138 Tahun 2025 yang diterbitkan pada 25 April 2025, tersebut menuai sorotan. Regulasi tersebut mengatur ulang kode wilayah administrasi dan jumlah pulau di seluruh Indonesia. Bahkan, mengubah luas wilayah sejumlah provinsi.
Direktur Lembaga Observasi Hukum dan Pemerintahan Umum (LOHPU), Aco Hatta Kainang menyebut kebijakan ini sangat berisiko memicu konflik antarwilayah. Pasalnya, menurut Aco, banyak provinsi secara tiba-tiba kehilangan luas wilayah atau berkurang jumlah pulaunya, tanpa penjelasan rinci dari Kemendagri.
Ia mengungkapkan, contoh paling mencolok terjadi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Berdasarkan data lama, luas Sulsel tercatat 45.330.550 km². Namun, dalam dokumen terbaru Kemendagri, angkanya berubah menjadi 45.323.975 km², atau berkurang 6.575 km².
“Perubahan ini tidak disertai alasan geospasial atau peninjauan rupa bumi yang jelas. Ini bisa menimbulkan sengketa batas wilayah yang merugikan daerah,” ujar Aco, Selasa, 17 Juni.
Dalam kepemendagri tersebut juga ada penambahan pulau, saat ini sebanyak 17.380. Pada Kepemendagri tahun 2022 Sulsel hanya memiliki 17.001 pulau.
Namun, kata Aco, terjadi keanehan sebab luas wilayah seluruh provinsi berdasarkan Kepmendagri tahun 2022 sebesar 1.892.410,091 km persegi, sedangkan pada Kepmendagri 2025 luasnya 1.890.179.784 km persegi. “Pulau bertambah jumlahnya, tapi luas wilayah berkurang,” beber Aco.
Aco juga menyinggung Permendagri No. 58 Tahun 2021 yang dijadikan dasar regulasi. Menurutnya, aturan itu tidak relevan untuk digunakan dalam pengubahan kode wilayah dan penetapan pulau saat ini.
“Perubahan ini semestinya melalui regulasi yang kuat, melibatkan DPR dan DPD RI, karena menyangkut hak konstitusional daerah dan pengelolaan kekayaan alam,” kata Aco.
Pemantik Sengketa
Direktur LOHPU ini menilai, regulasi tersebut tidak semestinya terbit secara sepihak. Apalagi, di tengah moratorium pemekaran wilayah yang masih berlaku.
Hal itu bisa menjadi pemantik konflik seperti yang sudah pernah terjadi, seperti sengketa: Pulau Lerelerekang antara Kalimantan Selatan dan Sulbar, Pulau Berhala antara Jambi dan Kepulauan Riau, dan Pulau Bala-balakang antara Kaltim dan Sulbar.
“Semua itu bermasalah karena adanya potensi sumber daya alam migas di pulau-pulau tersebut,” ungkap Aco.
Ia mengingatkan, konflik batas wilayah tak hanya merugikan satu pihak, tapi juga dapat memicu ketegangan antarprovinsi. Kondisi itu akan menghambat investasi, dan membuat rakyat kehilangan akses atas tanah airnya sendiri.
Aco pun mendesak pemerintah pusat segera meninjau ulang Kepmendagri ini, serta mendorong DPR RI dan DPD RI untuk memperkuat regulasi batas wilayah dalam kerangka undang-undang yang memiliki daya ikat hukum internal dan eksternal.
“Jangan sampai kebijakan administratif justru menjadi bahan bakar konflik geopolitik antar daerah di Indonesia,” terangnya.
Kewenangan Pusat
Sekretaris Provinsi Sulawesi Selatan Jufri Rahman menjelaskan, bahwa penetapan batas wilayah tersebut dihitung termasuk dari wilayah laut dan kepulauan. Pada saat pengukuran, pulau terluar dijadikan titik batas wilayah.
Namun, saat kembali dilakukan verifikasi, bisa saja sebuah pulau di suatu wilayah tersebut hilang tergerus air ataupun timbul yang baru akibat penurunan muka air laut.
“Pada saat pulau batas terluar itu hilang, maka acuan pengukuran akan pindah ke pulau berikutnya, dengan demikian pasti luas akan berubah, itu pengalaman saya sebagai kepala biro pemerintahan mengenai tapal batas,” ulas Jufri.
Jufri mengetahui adanya penurunan luas wilayah Sulsel dalam Kepmendagri tersebut. Namun, ia juga tidak mengetahui secara detail batas wilayah yang dimaksud berkurang. Ia menyebut bahwa penetapannya hak dari pemerintah pusat.
“Mengukur dari pulau terluar yang dimiliki Sulsel. Contohnya Pulau Kalottoa di Kepulauan Selayar, itu kan lebih dekat dengan Surabaya, tetapi tetap wilayah Sulsel,” tuturnya.
Ia menegaskan, mengklaim suatu pulau masuk di wilayah sebuah provinsi atau bukan, tidak dihitung dari jarak provinsi bersangkutan, tetapi banyak pertimbangannya, historikal background, sejarah, budaya, dan seterusnya. (fajar)