"China dikenakan tarif 54 persen, Vietnam 46 persen, dan negara lain seperti India, Pakistan, Thailand, serta Malaysia juga tidak luput dari kebijakan ini," ujar Anthony kepada fajar.co.id, Kamis (14/5/2025).
Kebijakan tersebut mengundang keterkejutan global. Banyak pihak menyebut Trump tidak rasional karena bertindak bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas yang selama ini diklaim sebagai identitas ekonomi Amerika.
Namun, menurut Anthony, hal tersebut sebenarnya mencerminkan DNA ekonomi AS yang sesungguhnya.
“Amerika Serikat memang tidak pernah memiliki DNA sebagai negara penganut pasar bebas,” tegasnya.
Ia menambahkan, sejak kemerdekaan, AS telah menerapkan kebijakan protektif untuk memperkuat industrinya, sebagaimana dicontohkan oleh Menteri Keuangan pertama AS, Alexander Hamilton, dalam Report on Manufactures yang diajukan ke Kongres tahun 1791.
Dokumen itu menjadi pondasi The American System yang kemudian populer.
Anthony menguraikan bahwa kebijakan proteksi dan subsidi dijalankan oleh AS secara konsisten selama hampir 150 tahun, terutama untuk melindungi industri dalam negeri, termasuk industri yang masih berkembang (infant industry).
Kebijakan ini bertahan dari era Hamilton hingga awal abad ke-20, dan tarif impor AS bahkan pernah mencapai lebih dari 60 persen.
Ia juga menyinggung krisis dalam negeri akibat kebijakan tersebut, seperti nullification crisis pada era Presiden Andrew Jackson, yang sempat memicu ancaman disintegrasi dari negara bagian Carolina Selatan.
Namun Jackson bersikukuh, bahkan mengirim tentara untuk mempertahankan keputusan menaikkan tarif demi industri nasional.