Menyoal Kembali Revisi UU Penyiaran

  • Bagikan
Andi Sukmono, Ketua Umum Yayasan AYO Indonesia

Sengkarut pada media generasi empat ini jauh lebih kompleks dari Seven Deadly Sins. Fasilitas “satu orang satu media” mendisrupsi pola dan karakter media generasi sebelumnya, diantaranya perubahan distribusi satu arah dari produsen ke konsumen menjadi prosumer atau produsen sekaligus konsumen (user generated content), hilangnya batas antar media atau konvergensi media melalui transformasi multiplatform, hingga ragam patologi sosial dengan segala turbulensinya, yang turut disemai algoritma.

Misalnya meningkatnya perilaku seks bebas di kalangan anak/remaja, dan sesaknya ruang publik dengan ujaran kebencian. Rendahnya literasi digital dan empati sosial menyebabkan perilaku banyak pengguna dituntun oleh feed yang memberi asupan informasi atau konten berdasar interaksi sebelumnya.

Bila seorang anak atau remaja pernah mencari konten seksual, maka ia akan mendapatkan konten serupa pada kunjungan berikutnya. Dalam konteks ujaran kebencian, bagaimana pengguna tidak terus “menyala” akibat sulutan provokasi berlimpah yang disajikan feed?
Nah, bagaimana menjangkau semua perubahan fundamental itu dengan aturan penyiaran? Disinilah letak urgensi redefenisi penyiaran guna mangaransemen Undang-Undang (UU) Penyiaran yang lebih responsif, adaptif dan inklusif.

Penyiaran berasal dari kata siar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), siar berarti memberitahu atau menyebarkan informasi kepada khalayak melalui berbagai media.
Basis etimologi ini dapat dijadikan rujukan dalam redefenisi penyiaran, untuk kemudian fokus pada tujuan dan fungsi siaran.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan