Apa pun medianya, jika bertujuan memberitahu atau menyebarkan informasi kepada khalayak, maka termasuk dalam ruang lingkup penyiaran. Mendasarkan regulasi pada cara atau teknis penyebaran siaran, hanya menciptakan tumpang tindih regulasi, serta kehilangan relevansinya dalam mengatur dan melindungi kepentingan publik, karena tidak selaras dengan pesatnya laju teknologi informasi dan komunikasi.
Redefenisi penyiaran dapat menjadi peta sekaligus kompas dalam melahirkan UU Penyiaran yang komprehensif. Bukan sekedar penyesuaian etimologi, tetapi fondasi penting dalam menjawab tantangan penyiaran yang telah beralih generasi.
Konsekuensi Logis
Salah satu konsekuensi logis dari redefenisi penyiaran adalah jalan progresif bagi stakeholder media/penyiaran, menyatukan lembaga otoritas media massa di Indonesia.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Dewan Pers yang tercantum dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan Lembaga Sensor Film yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film, merupakan lembaga otoritas media yang memiliki ruang lingkup yang sama— penyiaran.
Jalan progresif ini bisa jadi riuh, dan berintang banyak polemik. Namun, selain alasan efisiensi dan efektivitas, integrasi antar lembaga otoritas media, hemat penulis, merupakan peluang yang lebih besar sekaligus cepat, untuk mengorkestrasi tata kelola penyiaran yang sehat, beradab, berkeadilan, berkelanjutan, dan berkedaulatan.