Karaeng Bontolangkasa, Penjaga Adat dan Penegak Syariat di Kerajaan Gowa

  • Bagikan
Ilustrasi

Dalam relasi antarkerajaan, ia menjalin persahabatan dengan Bone, Wajo, dan Luwu secara arif. Ia bahkan turut mendamaikan konflik antara Bone dan Wajo, memperkuat stabilitas kawasan melalui diplomasi adat. Dalam berbagai kesempatan, ia menyerukan pentingnya kejujuran, kebenaran, dan menjauhi permusuhan.

Kehidupan pribadinya mencerminkan kekokohan istana: beliau memiliki banyak keturunan dari permaisuri dan istri-istrinya, termasuk tokoh-tokoh besar yang kelak meneruskan tahta Gowa. Selama 25 tahun memerintah, Karaeng Bontolangkasa dikenang sebagai pemimpin yang mengedepankan moralitas, kebijaksanaan, dan ilmu pengetahuan.

Menjelang wafat, ia berwasiat agar dimakamkan di kampung halamannya, Bontolangkasa. Namun, legenda setempat menyebutkan bahwa saat jasadnya diturunkan ke liang lahat, pelangi muncul menyilaukan dan saat pelangi sirna, jasadnya pun menghilang. Warga meyakini ia telah mencapai derajat ma’rifat, meninggalkan dunia secara spiritual, dan dikenang sebagai tokoh yang "dimakan mati, tapi tidak dimakan liang lahat."

Sebagai sosok yang menggabungkan peran ulama, raja, dan negarawan, Karaeng Bontolangkasa menjadi teladan kepemimpinan yang berakar pada nurani, keberanian, dan nilai-nilai luhur. Sejarah mencatatnya sebagai pilar kejayaan Gowa, dan naskah-naskah Lontara mengabadikan namanya dalam lembaran emas peradaban Sulawesi Selatan. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan