Perang Modern; Bertempur Tanpa Bertemu

  • Bagikan
Dr Iqbal Mochtar (Pengurus PB IDI dan Ketua Forum Dokter Peduli Ketahanan Kesehatan Bangsa)

Inilah wajah perang modern: teknologi melawan teknologi, rudal melawan rudal, algoritma melawan algoritma. Tanpa jejak kaki tentara, tapi dengan dampak kehancuran yang sangat nyata.

Serangan bisa datang tiba-tiba, dari ribuan kilometer jauhnya, dengan muatan konvensional, nuklir, atau bahkan biologis. Efeknya: mematikan dan menghancurkan secara masif.

Saya pun merenung: di mana posisi Indonesia dalam peta realitas ini? Apakah kita siap menghadapi perang jenis baru ini? Apakah kita memiliki sistem pertahanan rudal jarak jauh, atau minimal radar deteksi dini yang mampu mengenali ancaman hipersonik? Apakah kita sedang membangun kapabilitas pesawat tempur generasi kelima atau sistem drone tempur otonom?

Indonesia adalah negara non-blok. Tapi seperti yang pernah disampaikan Presiden Prabowo Subianto, status non-blok tidak menjamin kita aman dari konflik besar.

Jika terjadi konstelasi geopolitik global yang memanas, kita mungkin tidak bisa netral sepenuhnya. Seperti kata beliau, "Kalaupun kita tidak langsung terkena dampak perang, kita hanya akan menjadi korban yang mati belakangan."

Saat ini, banyak negara—termasuk negara-negara tetangga kita di Asia—berlomba memperkuat sistem persenjataan jarak jauh dan teknologi pertahanan futuristik. Mereka tidak menunggu perang datang. Mereka bersiap dari sekarang.

Indonesia pun harus demikian. Kita tidak boleh hanya mengandalkan kekuatan konvensional. Kita perlu membangun sistem pertahanan berlapis yang modern, mulai dari cyber defense, sistem pertahanan udara, rudal jarak menengah, drone bersenjata, hingga integrasi intelijen berbasis AI. Seperti Iran yang diam-diam membangun cadangan rudal dan sistem pertahanannya selama dua dekade terakhir—tanpa banyak diketahui dunia.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan