Anthony menilai, data pertumbuhan ekonomi yang terlalu stabil dari tahun ke tahun, seperti 5,03 persen (2016), 5,07 persen (2017), 5,17 persen (2018), dan 5,02 persen (2019), sangat janggal.
“Pertumbuhan ekonomi yang stabil seperti ini, untuk jangka waktu cukup lama, sangat tidak lazim, dan mengundang kecurigaan. Diduga ada fabrikasi alias manipulasi terhadap angka pertumbuhan ekonomi tersebut,” tegasnya.
Kecurigaan ini, kata dia, semakin kuat jika dibandingkan dengan pola pertumbuhan ekonomi triwulanan Vietnam atau Indonesia sebelum 2014 yang lebih fluktuatif dan mencerminkan dinamika pasar nyata.
Anthony bahkan menyebut bahwa indikasi manipulasi ini tak hanya jadi sorotan dalam negeri, melainkan juga para ekonom luar negeri. Ia menyinggung pendapat Gareth Leather dari Capital Economics yang terang-terangan menyatakan tidak percaya pada data PDB Indonesia dalam tulisannya, “Why we don’t trust Indonesia’s GDP data.”
Hal serupa diutarakan Trinh Nguyen, kata Anthony, ekonom dari lembaga keuangan berbasis di Hong Kong. Trinh heran dengan pola pertumbuhan ekonomi RI yang stagnan di tengah pelemahan belanja pemerintah dan investasi yang melambat.
"I don’t know how an economy can grow at the same rate for so long. Gov spending is weak and investment slowing and imports contracting HARD,” kata Trinh, dikutip Anthony.
Lebih lanjut, Anthony menjelaskan cara manipulasi tersebut dilakukan. Menurutnya, fabrikasi pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan lewat dua cara utama, menaikkan data nominal dan mengatur angka deflator (indeks harga).