Modus dugaan korupsi pengadaan LNG mencakup penyimpangan dalam proses perencanaan, penunjukan mitra, hingga kontrak pembelian LNG dari pihak luar negeri.
KPK menekankan bahwa proses pengadaan LNG saat itu dilakukan tanpa kajian menyeluruh dan menyimpang dari aturan internal. Akibatnya, negara tidak hanya merugi dari sisi keuangan, tapi juga kehilangan potensi strategis dalam pengelolaan energi jangka panjang.
Dalam konstruksi perkaranya, pada tahun 2012 PT Pertamina (Persero) melakukan pengadaan LNG sebagai alternatif mengatasi defisit gas di Indonesia yang diperkirakan terjadi pada kurun waktu 2009 s.d 2040.
Sehingga diperlukan pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan PT PLN, Industri Pupuk, dan Industri Petrokimia lainnya di Indonesia.
Dirut PT Pertamina saat itu kemudian mengeluarkan kebijakan menjalin kerja sama dengan beberapa produsen dan supplier LNG dari luar negeri, diantaranya perusahaan CCL LLC Amerika Serikat.
Pengambilan keputusan dilakukan sepihak tanpa kajian menyeluruh dan tidak melaporkan kepada Dewan Komisaris PT Pertamina (Persero).
Selain itu tidak dilakukan pelaporan untuk menjadi bahasan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam hal ini pemerintah. Dirut Pertamina Karen Agustiawan tersebut tidak mendapatkan persetujuan dari pemerintah.
Oleh karenanya seluruh kargo LNG milik PT Pertamina (Persero) yang dibeli dari perusahaan CCL LLC Amerika Serikat itu tidak terserap di pasar domestik, yang berakibat menjadi oversupply dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia.