“Putusan ini secara tidak langsung meminta kita semua untuk mengubah, merevisi UU ini secara omnibus law. Semuanya. Jadi pelan-pelan, putusan MK yang dicicil-cicil ini mendorong revisi UU dengan metodologi omnibus law,” ungkapnya.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu juga menilai peran Mahkamah Konstitusi yang semakin menyerupai pembentuk undang-undang ketiga karena sering mengeluarkan putusan progresif, terutama di bidang pemilu.
“Kenapa putusannya bertambah progresif oleh Mahkamah Konstitusi? Karena pembentuk UU tidak merespons putusan mereka. Jadi kekhawatiran saya, MK seakan sebagai pembentuk UU ketiga semakin kuat. Padahal UUD 1945 kita mengatakan pembentuk UU cuma dua: pemerintah dan DPR,” ujar Doli.
Doli juga menyoroti kompleksitas dan kejenuhan yang timbul dari penyelenggaraan pemilu serentak. Dia menyebut Pemilu 2024 sebagai bukti nyata bagaimana sistem keserentakan menciptakan beban berat bagi penyelenggara dan pemilih.
“Saya termasuk orang yang setuju karena saya dari awal meminta kepada kita semua untuk mengkaji ulang soal keserentakan. Karena Pemilu 2024 kemarin, yang baru pertama kali kita lakukan, dilaksanakan secara bersamaan dan berdekatan antara tiga jenis pemilu,” sambungnya.
Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi baru-baru ini mengeluarkan putusan yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional (presiden dan legislatif) dengan pemilu daerah (kepala daerah dan DPRD). Jarak waktu antara keduanya maksimal 2 tahun 6 bulan. Putusan ini akan mulai berlaku pada siklus pemilu selanjutnya. (fajar)