“Awalnya hanya gazebo dulu untuk mengaji anak-anak, terus berpikir kenapa tidak sekalian untuk bangun rumah anak yatim dhuafa,” tuturnya.
Pondok itu akhirnya diresmikan tahun 2021. Sampai hari ini, ada 75 santri yang belajar di sana, terdiri dari 35 laki-laki dan 40 perempuan.
Sembilan di antaranya adalah anak yatim dhuafa yang tinggal menetap.
Sisanya adalah anak-anak kampung sekitar yang datang setiap hari untuk belajar mengaji dan menghafal Al-Qur’an.
Dengan dana pribadi, tabungan, dan hasil dari berdakwah, Nurhilal membiayai seluruh operasional pondok, termasuk gaji dua orang pengajar dan kebutuhan makan anak-anak.
“Sampai sekarang untuk operasional bulanan, gaji Ustaz, makannya anak-anak, itu dari pribadi. Tapi adaji juga beberapa donatur yang membantu,” ucapnya.
Kesibukannya sebagai polisi di Polda Sulsel tak menghalangi langkahnya. Setiap Sabtu dan Minggu, ia menyempatkan diri turun langsung memberikan arahan dan pembinaan kepada para santri.
“Kalau saya setiap Sabtu Minggu turun kasih arahan ke anak-anak, pengajian begitu. Rumah ada di Makassar, tapi saya bolak-balik ke Pangkep,” katanya.
Pengabdiannya pun tak luput dari apresiasi. Ia telah menerima penghargaan pada 2021, dan setahun kemudian diberi kesempatan menempuh pendidikan untuk sekolah perwira.
Padahal, saat memulai inisiatif mulianya, pangkatnya masih Bripka.
Namun bagi Nurhilal, bukan pangkat atau penghargaan yang ia cari, melainkan warisan kebaikan untuk generasi berikutnya.
Di tengah arus zaman yang kian digital, ia memilih menjadi perahu kecil yang mengantar anak-anak kampungnya kembali mencintai Al-Qur’an.