FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menyampaikan bahwa pihaknya sedang menyusun revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dengan fokus utama memperpanjang masa wajib belajar menjadi 13 tahun.
Rencana ini tak hanya mencakup pendidikan dasar hingga menengah atas, tetapi juga menambahkan satu tahun pendidikan prasekolah, seperti TK atau PAUD.
“Kami sedang menyusun perubahan Undang-Undang Sisdiknas dan ingin meningkatkan wajib belajar itu sampai 13 tahun, berarti sampai SMA-SMK dan ditambah satu tahun di bawah prasekolah yakni TK atau PAUD,” ujar Hetifah saat kunjungan kerja di Kota Padang, dilansir Antara pada Selasa (1/7/2025).
Menurutnya, revisi ini merupakan bentuk keseriusan DPR untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dan selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024.
Dalam putusan itu, negara diwajibkan membebaskan biaya pendidikan dasar, baik di sekolah negeri maupun swasta.
Namun, Hetifah menilai bahwa langkah DPR justru melangkah lebih jauh dari putusan MK yang hanya mengatur sampai jenjang pendidikan dasar sembilan tahun.
Ia menyebut bahwa keputusan MK itu patut dihargai karena tujuannya jelas: agar tak ada lagi anak-anak Indonesia yang putus sekolah hanya karena keterbatasan ekonomi atau faktor geografis.
“Ini supaya tidak ada anak didik di Indonesia yang tidak mengenyam pendidikan karena alasan ekonomi, geografis, atau lainnya,” jelasnya.
Ia juga memahami realita di lapangan bahwa tidak semua siswa bisa masuk ke sekolah negeri, entah karena kuota terbatas atau akses yang jauh dari tempat tinggal. Dalam kondisi seperti itu, sekolah swasta jadi pilihan yang relevan.
“Jadi tidak masalah kalau anak didik ini sekolah di swasta, asalkan mutu dan biayanya tidak kalah dari sekolah negeri,” lanjut Hetifah.
Namun begitu, ia menggarisbawahi bahwa masyarakat perlu memahami perbedaan antara sekolah swasta berbasis bantuan pemerintah dengan sekolah swasta yang bersifat premium. Sekolah premium ini biasanya menawarkan fasilitas dan layanan tambahan yang tentunya berdampak pada biaya lebih besar.
“Menurut saya, sekolah swasta premium seperti ini tidak wajib gratis karena orang masuk ke sana atas pilihannya, bukan karena soal daya dukung sekolah,” katanya tegas.
Hetifah juga menambahkan, ke depannya perlu ada klasifikasi yang lebih jelas antara sekolah swasta yang berbayar dan yang gratis. Khusus untuk sekolah swasta yang selama ini mengandalkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), perlu perhatian ekstra dari pemerintah agar kualitas pendidikan di sana terus meningkat. (Wahyuni/Fajar)