Ia menambahkan, tanpa menyentuh aktor politik yang bermain di balik proyek, maka kampanye antikorupsi ini hanyalah teater moral—panggung besar untuk menyalahkan birokrat kecil sambil menyelamatkan politisi besar.
Menteri PUPR dinilai terlalu reaktif. Seharusnya ada sistem audit dan pengawasan aktif sebelum KPK turun tangan. Cottong mempertanyakan ke mana fungsi pengawasan internal kementerian selama Topan Ginting “bermain proyek” bertahun-tahun.
“Tahu-tahu ditangkap, lalu dipecat. Lalu semua merasa sudah bersih. Lucu sekali sistem kita. Di kementerian PUPR, bersih itu artinya tidak ketahuan ya?,” sindirnya.
Ia juga menyentil pernyataan Presiden Prabowo, yang menurutnya terlalu normatif dan kosong tanpa tindakan nyata terhadap elite partai yang kerap menjadi makelar proyek di daerah.
“Kalau Presiden mau bersih-bersih, mulailah dari istana ke ruang rapat partai. Jangan cuma bersih-bersih toilet birokrasi. Bau utamanya ada di ruang makan kekuasaan,” tukasnya.
Dalam pernyataannya, Cottong juga menuntut audit nasional terhadap seluruh Kepala Dinas PUPR di Indonesia, serta mendesak Kementerian PUPR untuk membuka akses pengawasan publik terhadap sistem pengadaan proyek.
Ia juga mendorong agar digitalisasi total dilakukan untuk mencegah intervensi manual dalam lelang proyek, serta kolaborasi audit independen dari pihak ketiga.
“Kalau kita masih pakai sistem proyek manual, berarti negara ini memang sengaja memberi ruang bagi tangan-tangan licik. Ini bukan kesalahan sistem, tapi sistem yang memang dirancang salah,” ujar dia.