Kembali ke persolan penggusuran, Lukman dan warga lainnya meminta kepastian agar hidup mereka bisa lebih tenang seperti sebelum diusik Pertamina.
"Warga sekarang tetap was-was kasihan, butuh kepastian. Kemarin juga itu persoalannya warga prosesnya yang begitu cepat, SP1, SP2 itu. Tidak ada ruang negosiasi bagi warga, langsung diturunkan aparat segala macam," Lukman menuturkan.
Lukman menegaskan bahwa tanah yang diduduki warga saat ini merupakan tanah adat leluhur. Sudah diduduki jauh sebelum Pertamina berdiri di kawasan tersebut.
"Sementara tembok pembatas dari Pertamina itu kan sudah maju beberapa meter dari tembok yang semestinya. Dia yang mendekat ke warga. Karena pembatasnya itu maju 20 meter kedepan. Ini plannya mereka, begitu digusur warga dia mau jadikan taman itu," jelasnya.
"Pertamina perlahan perluas zonanya dengan alibi dia kontrak wilayah dengan Pelindo. Karena terus dikasih maju itu tembok, makanya warga banguni itu dekat tembok, karena khawatir tambah mendekat," tambahnya.
Ia pun mempertanyakan siapa sebenarnya yang mengancam? Sebab, warga lebih dahulu menempati kawasan tersebut.
"Kemarin kami pertanyakan suratnya, siapa yang mengancam? Warga atau Pertamina yang mengancam keselamatan warga. Ini yang saya perjelas kemarin, Pertamina yang duluan mengancam kami karena warga duluan hadir ketimbang Pertamina," timpalnya.
Blak-blakan, Lukman mengatakan bahwa sejak menggelar aksi unjuk rasa tahun lalu, belum ada pertemuan antara mereka dengan pihak Pertamina.
"Kami pada saat itu dorong untuk RDP dengan data yang kami miliki bahwa sebenarnya kami yang diancam. Karena secara historis kami yang duluan datang. Beda penumpang, kalau penumpang Pertamina yang duluan datang, kemudian warga datang mendekat dan membangun di situ," imbuhnya.