Rinjani, Gunung yang Hidup
Gunung Rinjani bukan hanya tinggi secara fisik—3.726 meter di atas permukaan laut—namun juga menjulang dalam spiritualitas masyarakat Sasak. Danau Segara Anak di kawahnya dianggap tempat suci. Air Panas Aik Kalak di sekitarnya dipercaya menyembuhkan. Hutan hujan tropis, savana, dan lautan awan adalah lantai dzikir bagi siapa pun yang naik dengan hati yang bersih.
Bagi Agam, Rinjani adalah makhluk hidup. Ia bernapas, menangis, tertawa. Ia bisa memberi isyarat, mengirim pesan lewat mimpi. Ketika terjadi kerusakan vegetasi, longsor, atau tumpukan sampah yang menodai tubuhnya, Rinjani “berbicara” kepada Agam. Kadang lewat angin yang aneh. Kadang lewat binatang yang tak biasa muncul. Terkadang lewat "mimpi". Kadang lewat perasaan tak enak yang tiba-tiba hadir.
"Alam ini bukan objek wisata. Ia adalah mitra spiritual kita," ujar Agam dalam sebuah wawancara dokumenter di Lombok. Ucapannya seolah menyatu dengan sabda ulama sufi: Barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya—dan siapa yang mengenal Tuhannya, ia akan mencintai ciptaan-Nya.
Laku Spiritual Ekologis
Banyak yang menyebut Agam sebagai penjaga, tapi bagi yang paham, Agam adalah penganut "Agama Rinjani"—yakni ajaran cinta dan pemeliharaan terhadap alam semesta. Ia tak berkhotbah, tapi seluruh langkah hidupnya adalah khutbah berjalan. Ia tak mendirikan mimbar, tapi tenda-tendanya adalah sekolah tempat banyak pendaki belajar tentang hidup yang jujur dan rendah hati.
Dr. Erna Widayanti, peneliti sosial-ekologi dari Universitas Mataram, menyebut Agam sebagai “simbol manusia modern yang memilih hidup primitif agar bisa lebih arif.” Dalam studinya tahun 2024, ia menyatakan bahwa kawasan Gunung Rinjani mengalami tekanan ekologis berat akibat peningkatan wisata, pencemaran sampah, dan eksploitasi sumber daya. “Tapi selama masih ada orang-orang seperti Agam, kita punya harapan,” katanya.