AGAM dan RINJANI: Kisah Cinta yang Bertawaf di Bumi Lombok

  • Bagikan
Oleh: Muliadi Saleh, Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan

Antara Cinta, Kamera, dan Kabut Viralitas

Cinta Agam pada Rinjani begitu utuh, seperti gunung yang tak pernah separuh. Tapi dunia hari ini mudah sekali memviralkan tubuh, bukan ruh. Foto-foto Instagramable dari puncak Rinjani memang memukau, tapi banyak yang lupa bahwa di balik keindahan itu, ada luka: tambang pasir yang menggerus kaki gunung, sampah plastik yang mengendap di danau, vegetasi yang rusak oleh jejak tanpa jejak hati.

"Viralitas bisa jadi kabut yang menyembunyikan realitas," kata Agam suatu hari. Dan kabut itu, jika dibiarkan, bisa menutup jalan pulang menuju cinta sejati. Jika Agam berubah karena godaan dunia maya—publikasi, tawaran endorsement, atau kemasyhuran yang menjauhkan—maka bisa jadi Rinjani akan kehilangan penjaganya. Dan kita akan kehilangan contoh cinta sejati antara manusia dan alam.

Menjaga Agam, Menjaga Rinjani

Kisah Agam adalah kisah tentang kesejatian. Ia bukan pahlawan dalam pengertian formal. Ia hanya manusia yang tak ingin mencederai cinta. Maka tugas kita adalah menjaga agar cinta itu tetap utuh. Agar Agam tak jatuh karena beban ekspektasi. Agar Rinjani tak rusak karena gelombang wisata tanpa etika.

Dalam khutbah ekologi yang sunyi, Rinjani mengingatkan kita: "Siapa yang mencintai, harus menjaga. Siapa yang mendaki, harus kembali sebagai manusia yang lebih bijak."

Dan Agam, sang penjaga itu, telah menjawab panggilan alam. Dengan tangan, hati, dan keyakinan bahwa cinta paling agung adalah menjaga yang diam.

Gunung Rinjani bisa saja digambarkan dalam ribuan foto, drone, atau reels yang viral. Tapi ruh Rinjani hanya bisa ditangkap lewat kisah cinta seperti Agam. Maka jika kelak engkau naik ke Rinjani, jangan hanya sibuk mengabadikan panorama. Abadikan pula kesadaran bahwa kita tak hanya bertamu ke tubuh gunung, tapi ke jiwanya.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan