Beda Pandangan Dua Pakar Terkait Cantelan Hukum yang Digunakan Purnawirawan TNI Memakzulkan Gibran

  • Bagikan
Gibran Rakabuming Raka

Ketentuan ini menunjukkan bahwa prosedur pemakzulan tidak dapat ditempuh secara sewenang-wenang, melainkan harus melalui pembuktian hukum yang kuat dan berlandaskan ketentuan konstitusi.

“Kalau kita kaitkan dengan impeachment clauses itu yang ada di Pasal 7A, kita tidak melihat mana cantelan yang akan dipakai untuk memberhentikan Gibran sampai hari ini,” jelas Yance.

Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Dr. Yance Arizona (foto: dok UGM)

Lebih jauh, Yance menjelaskan bahwa MPR bukanlah lembaga yang memulai proses pemakzulan, melainkan institusi yang menjalankan keputusan akhir setelah tahapan-tahapan sebelumnya dilalui.

Menurutnya, pintu masuk proses pemakzulan terletak di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bukan MPR. DPR dapat menggunakan hak angket atau langsung mengajukan hak menyatakan pendapat jika terdapat dugaan bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sesuai dengan Pasal 7A.

Proses ini melibatkan berbagai lembaga negara dan menuntut adanya kehati-hatian dalam setiap tahapannya.

“Nanti kalau MK menyatakan terbukti, itu bisa menjadi dasar untuk MPR mengadakan sidang dan memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden,” jelasnya.

Kemudian dalam konteks kasus Wakil Presiden Gibran, muncul pertanyaan apakah dugaan pelanggaran etik atau manipulasi dalam proses pencalonannya dapat dimasukkan sebagai pelanggaran berat atau perbuatan tercela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A.

Yance mengurai, secara teoretis hal tersebut bisa dikaitkan ke dalam impeachment clauses, terutama jika terbukti terdapat intervensi kekuasaan dalam proses pencalonan.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan