Karena tidak bisa dibuktikan meraup keuntungan pribadi, tuduhan terhadap Lembong pun bergeser.
Ia dituduh menguntungkan pihak lain dan menyebabkan kerugian keuangan negara. Namun menurut Anthony, unsur ini pun patut dipertanyakan.
Ia menyoroti fakta bahwa saat penetapan tersangka dan penahanan Tom Lembong dilakukan, BPKP bahkan belum menyampaikan laporan perhitungan kerugian negara. Laporan itu baru diserahkan ke kejaksaan pada 20 Januari 2025.
“Artinya, saat Lembong ditahan, jaksa belum tahu apakah benar ada kerugian keuangan negara atau tidak. Ini sangat fatal. Penahanan itu bisa dikategorikan tidak sah,” tegasnya.
Dalam laporan yang disusun oleh tim investigasi BPKP yang terdiri dari enam orang itu, disebutkan bahwa kerugian negara berasal dari dua sumber.
Pertama, karena harga beli gula oleh PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) sebesar Rp9.000 per kg dianggap terlalu mahal dibanding harga dasar (HPP) sebesar Rp8.900 per kg.
Kata Anthony, istilah “kelebihan bayar” yang dipakai BPKP sangat menyesatkan. Transaksi itu dilakukan secara sah dan sesuai kesepakatan bisnis.
Bahkan, harga beli PT PPI jauh lebih rendah dibanding harga pembelian gula petani oleh BUMN lain seperti PTPN dan RNI, yang mencapai lebih dari Rp13 ribu per kg.
“Kalau logika BPKP dipakai, maka perusahaan BUMN itu juga harus dijadikan tersangka karena membeli gula jauh di atas HPP. Ini menunjukkan standar ganda,” ucapnya.
Selain itu, BPKP juga menyebut ada unsur kerugian karena perusahaan gula rafinasi dianggap kurang bayar bea masuk dan pajak impor. Namun Anthony menyebut tuduhan ini ngawur dan tak berdasar.