Yang diimpor adalah gula kristal mentah, dan perusahaan telah membayar seluruh kewajiban bea masuk, PPN impor, dan PPh Pasal 22 sesuai aturan.
Anehnya, BPKP menghitung seolah-olah yang diimpor adalah gula kristal putih, yang tarif bea masuknya jauh lebih tinggi.
“Ini seperti memaksakan sesuatu yang tidak ada, menjadi seolah-olah ada. Logika hukumnya dipelintir,” tukas Anthony.
Lebih jauh, ia menyebut pajak impor seperti PPN dan PPh Pasal 22 bersifat dibayar di muka dan diperhitungkan di laporan pajak tahunan. Jika pun ada kekurangan, itu menjadi ranah otoritas pajak, bukan pidana.
“BPKP dan Kejaksaan Agung sudah melampaui kewenangannya dalam menetapkan bahwa ada kurang bayar pajak. Ini administrasi perdata, bukan pidana,” Anthony menuturkan.
Atas dasar itu semua, Anthony menduga kuat ada unsur rekayasa dalam proses hukum terhadap Tom Lembong.
Ia meminta BPKP, khususnya tim investigasi dalam kasus impor gula ini, menjelaskan kepada publik dasar perhitungannya.
“Kalau ada kelebihan bayar dalam transaksi komersial, kenapa Tom Lembong yang disalahkan? Kalau ada kekurangan bayar pajak, kenapa bukan perusahaan yang ditindak? Banyak kejanggalan di sini,” tandasnya.
(Muhsin/fajar)