Denny JA Rekam Luka Sejarah Lewat Tujuh Buku Puisi Esai

  • Bagikan
Denny JA Rekam Luka Sejarah Lewat Tujuh Buku Puisi Esai
Denny JA Rekam Luka Sejarah Lewat Tujuh Buku Puisi Esai

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Penulis dan budayawan Denny JA kembali menorehkan pencapaian penting dalam dunia sastra Indonesia lewat peluncuran karya terbarunya, “Yang Menggigil dalam Arus Sejarah”. Buku ini menjadi penutup dari heptalogi puisi esai, rangkaian tujuh buku yang merekam berbagai tragedi sejarah—baik dari Indonesia maupun dunia.

Jika enam buku sebelumnya menyorot luka sejarah di Tanah Air, buku ketujuh ini menembus batas geografis. Denny JA membawa pembaca menyelami kisah para korban Revolusi Prancis, Holocaust, pembantaian di Nanking, hingga anak-anak yang menjadi yatim akibat bom atom di Hiroshima.

Semua buku dalam seri ini ditulis menggunakan genre puisi esai, format khas yang diciptakan Denny JA dan kini berkembang sebagai gerakan sastra lintas negara. Genre ini memadukan narasi puitik dan riset sejarah, menciptakan ruang refleksi mendalam di tengah hiruk pikuk informasi digital yang cepat dan dangkal.

“Sejarah resmi menulis pahlawan. Tapi puisi esai menulis korban,” ujar Denny JA dalam peluncuran bukunya di Jakarta, Kamis (3/7).

Heptalogi ini dianggap sebagai arsip nurani kolektif bangsa dan dunia. Menurut Penerbit CBI, proyek ini bukan hanya kerja sastra, tapi juga dokumentasi kultural yang memberi suara pada mereka yang selama ini terlupakan. Dari perempuan penghibur era pendudukan Jepang hingga kaum eksil yang kehilangan tanah air di tahun 1960-an, puisi esai menyentuh sisi terdalam manusia yang kerap tak tercatat dalam buku sejarah resmi.

Denny JA menyatakan bahwa puisi esai memiliki kekuatan untuk merefleksikan luka sejarah dari sudut pandang yang lebih manusiawi. Bukan sekadar angka dan data, tetapi pengalaman personal yang mampu menggugah emosi pembaca. Bagi Denny, sejarah bukan hanya milik mereka yang menang, tapi juga milik mereka yang ditinggalkan: anak-anak tanpa negara, cinta tanpa ruang, dan bisikan mereka yang hidup dalam pengasingan.

Gerakan puisi esai kini telah menjangkau banyak komunitas sastra di Asia Tenggara. Genre ini bahkan menjadi agenda utama dalam Festival Puisi Esai ASEAN yang telah diselenggarakan empat kali. Ia tidak hanya hidup di halaman buku, tetapi juga menjadi wacana budaya dan sosial lintas negara.

Berikut tujuh buku puisi esai karya Denny JA yang membentuk heptalogi ini:

1. Atas Nama Cinta (2012)
Mengangkat kisah cinta yang kandas akibat diskriminasi sosial.

2. Kutunggu di Setiap Kamisan (2018)
Menyoroti tragedi orang-orang yang hilang secara paksa dalam sejarah Indonesia modern.
 

3. Jeritan Setelah Kebebasan (2015)
Menggambarkan konflik berdarah dan harapan yang kandas pasca reformasi.
 

4. Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (2024)
Merekam suara-suara yang tertinggal saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
 

5. Mereka yang Mulai Teriak Merdeka (2024)
Menampilkan sosok-sosok pahlawan sebagai manusia biasa dengan luka dan konflik batin.
 

6. Mereka yang Terbuang di Tahun 1960-an (2024)
Menelusuri nasib mereka yang kehilangan kampung halaman akibat gejolak politik.
 

7. Yang Menggigil dalam Arus Sejarah (2025)
Menjadi jembatan antara sejarah lokal dan tragedi global yang membentuk nurani dunia.
 

“Sebab kemerdekaan sejati, seperti puisi, adalah keberanian untuk terus mendengarkan yang tak lagi punya suara,” tutup Denny JA. (*/eds)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan