Penulisan Ulang Sejarah Tuai Pro Kontra, Puan Maharani Beri Catatan Penting

  • Bagikan
Ketua DPP PDIP Puan Maharani -- Foto: Aristo/JPNN.com

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Langkah Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang tetap melanjutkan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia menuai sorotan, terutama karena dinilai menyentuh isu sensitif seperti peristiwa kemanusiaan dalam era Reformasi 1998.

Menanggapi hal ini, Ketua DPR RI Puan Maharani mengingatkan pentingnya menjaga integritas sejarah dan tidak menghapus jejak siapa pun dalam narasi kebangsaan.

Dia menekankan bahwa proses penulisan sejarah harus dilakukan secara transparan dan adil.

"Kita harus sama-sama menghargai dan menghormati bahwa penulisan sejarah itu harus dilaksanakan sejelas-jelasnya, seterang-terangnya, tanpa ada pihak yang merasa dirugikan atau dihilangkan jejak sejarahnya," ucap Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, dikutip Jumat (4/7/2025).

Ketua DPP PDIP itu juga mengingatkan agar seluruh fakta sejarah tetap dihormati, termasuk dalam proyek besar yang tengah dijalankan oleh Kementerian Kebudayaan.

"Jangan sampai fakta-fakta sejarah kemudian tidak dihargai dan dihormati," tegasnya lagi.

Puan kemudian mengutip pengakuan Presiden ke-3 RI BJ Habibie dalam pidato kenegaraannya sebagai salah satu pijakan penting dalam menulis kembali sejarah Reformasi.

"Kita berpegang saja pada fakta sejarah tahun 1998, di mana waktu itu Presiden Habibie dalam pidatonya menyatakan bahwa ada fakta sejarah yang dalam poin-poinnya itu disampaikan," jelasnya.

Komentar ini disampaikan Puan usai mendengar pernyataan Fadli Zon dalam rapat bersama Komisi X DPR sehari sebelumnya.

Saat itu, Fadli mengkritisi narasi sejarah yang menurutnya selama ini terlalu menonjolkan tokoh-tokoh dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Puan menilai, jika ada fakta sejarah yang hendak ditinjau ulang, perlu dilihat terlebih dahulu apakah hal itu memang tidak relevan atau justru masih penting.

Yang terpenting, katanya, sejarah harus ditulis berdasarkan fakta yang telah divalidasi oleh para sejarawan.

"Kalau kemudian dalam fakta-fakta sejarah itu memang dianggap ada yang kemudian tidak perlu, apa betul? Karena kan banyak ahli-ahli sejarah yang menyatakan kita harus menyatakan namanya fakta sejarah, apalagi disampaikan oleh seorang Presiden," tuturnya.
(Wahyuni/Fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan