"Apakah ada pelanggaran terhadap open legal policy, banyak, tetapi kalau betul-betul melanggar UUD, kalau ini, apa, tidak ada pelanggaran hukumnya," lanjut mantan ketua MK itu.
Menko Polhukam di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu juga menyoroti konstruksi hukum jadwal pemilihan kepala daerah yang sudah berkali-kali diuji ke Mahkamah.
Pada 2004, katanya, sudah ada Putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004 yang menyatakan bahwa pemilu yang demokratis yang berlaku bagi pilkada bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
“Dengan adanya putusan MK bisa liar loh ini, bisa muncul lagi, ‘Sudah, kalau begitu kita kembali ke DPRD saja, wong itu dulu sudah didukung dan sudah berjalan.’ Bisa karena kata MK itu bisa langsung atau tidak langsung itu sama konstitusionalnya. Jangan-jangan bisa liar ke situ nanti," ujar Mahfud.
Sementara itu, mengenai jenis-jenis pemilihan yang konstitusional, Mahmud menyebut MK dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 memutuskan bahwa pemilu presiden/wakil presiden dan pemilu anggota lembaga perwakilan, yakni DPR, DPD, dan DPRD, dilakukan secara serentak mulai 2019.
Namun, melalui putusan terbarunya, Mahmud menilai MK inkonsisten, memasuki ranah kebijakan hukum terbuka, dan berpotensi memicu kegaduhan politik.
"Tetapi kita tetap harus bersikap konstitusionalis. Putusan MK ini harus dilaksanakan, dalam arti harus segera dibuat undang-undang, apa pun ujung dari undang-undang itu, apakah ke yang semula Putusan Nomor 72 atau ke ujung yang lain, itu perdebatan di lapangan politik,” ujarnya mengingatkan. (fajar)