Diplomat Muda Tewas di Indekos, Nurhidayatullah Cottong: Jangan Biarkan Kasus ADP Dikubur Bersama Mayatnya

  • Bagikan
Nurhidayatullah B. Cottong,

Jakarta — Kematian tragis seorang diplomat muda Kementerian Luar Negeri (Kemlu) berinisial ADP (39) di sebuah indekos kawasan Menteng, Jakarta Pusat, terus menuai sorotan tajam. Jenazah ADP ditemukan pada Selasa pagi, 8 Juli 2025, dalam kondisi mengenaskan—tengkurap di atas kasur, kepala dan wajah terikat lakban, dan tubuh dibalut selimut biru.

Meskipun hasil pemeriksaan awal tidak menunjukkan tanda kekerasan fisik, aparat kepolisian masih mendalami dugaan keterlibatan racun dan sedang menanti hasil toksikologi serta uji histopatologi dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM). Penyelidikan yang awalnya ditangani Polsek Menteng dan Polres Jakarta Pusat kini telah resmi diambil alih oleh Polda Metro Jaya.

Nurhidayatullah B. Cottong, aktivis muda dan penggiat sosial media, mendesak agar kasus kematian diplomat ADP tidak ditangani setengah hati. Ia menilai, tanda-tanda kematian ADP menyimpan banyak kejanggalan yang berpotensi dikaburkan jika aparat tidak diawasi publik secara ketat.

“Jika seorang diplomat muda bisa mati di kamar kos dengan lakban di kepala terbungkus rapi tanpa jejak kekerasan, lalu langsung di-framing seolah bunuh diri atau sakit, ini alarm keras bagi kita semua. Jangan-jangan, ini bukan sekadar kematian biasa,” kata Cottong kepada wartawan, Jumat (12/7).

Menurutnya, Publik telah terlalu sering menyaksikan pola “kasus misterius” yang menguap begitu saja. Ia mengingatkan agar aparat penegak hukum tidak kembali menunjukkan penyakit lama: pengaburan fakta, permainan narasi tunggal, dan kelambanan dalam menindak bukti-bukti digital.

Dari sudut pandang teknologi, Cottong menekankan pentingnya digital forensic yang menyeluruh. Rekaman CCTV terakhir menunjukkan korban sempat membuang sampah dan kembali ke kamar pada malam sebelum kematiannya. Namun hingga kini belum jelas apakah jejak komunikasi digital, metadata perangkat, dan rekam jejak online ADP telah diperiksa secara menyeluruh.

“Dimana forensik digitalnya? Apakah HP korban sudah ditracking? Siapa kontak terakhirnya? Apakah ada jejak ancaman digital atau komunikasi terakhir yang mencurigakan? Kalau tidak diungkap, ini cacat prosedur dan cacat teknologi,” tegas Cottong.

Secara politik, ia juga mengkritik lemahnya sikap Kementerian Luar Negeri yang hanya bersikap pasif dan menyerahkan semuanya kepada polisi. Menurutnya, sebagai institusi yang menaungi korban, Kemenlu seharusnya membentuk tim internal independen untuk menelusuri konteks diplomatik, latar belakang penugasan, serta potensi ancaman yang dihadapi ADP.

Tak hanya itu, Komisi I dan Komisi III DPR RI juga didesak untuk membentuk tim pengawas khusus.

“Kalau ini dibiarkan, jangan salahkan publik jika mulai muncul spekulasi ada yang sedang ditutup-tutupi,” tambahnya.

“Autopsi medis itu penting, tapi audit terhadap keadilan juga tak kalah penting. Kita tidak butuh hasil laboratorium yang dibungkam bahasa teknis, tapi transparansi total baik itu hasil racun, profil psikologis, hingga kemungkinan ada sabotase,” ujar Cottong menutup pernyataannya.

Kasus ADP adalah ujian bagi integritas sistem hukum, teknologi forensik, dan keberanian institusi untuk membuka segala kemungkinan. Jika dibiarkan menjadi misteri yang menguap, bukan hanya satu nyawa yang mati melainkan kepercayaan publik terhadap negara.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan