FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Eks Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, menyoroti tajam dua isu yang saat ini tengah hangat-hangatnya jadi pembahasan.
Isu pertama terkait pembahasan rencana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Dan isu kedua dan sudah panjang menjadi pembahasan yaitu ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
Lewat cuitan di akun media sosial X pribadinya, Said memberikan sorotan terkait dua isu ini.
Ia menyebut adanya perubahan arah dari kedua pembahasan ini.
Terkait isu pertama, pemakzulan Wapres Gibran menurut ada andil untuk perubahan arah.
“Perbuahan arah atas :
1) Usulan pemakzulan Gibran dan,” tulisnya dikutip Minggu (13/7/2025).
Sementara untuk isu ijazah palsu Jokowi, menurut Said Didu ada faktor yang membuat isu selalu terhambat khususnya penunjukkan ijazah asli.
“2) pengungkapan kasus ijazah palsu,
menjadi melemah bahkan akan dihambat karena
infonya karena ada “perintah singkat” dari Solo : “hambalang harus pegang komitmen”,” sebutnya.
Terkait hal ini, Said Didu pun menaruh curiga ada pengaruh besar dan langsung dari mantan Presiden Jokowi Widodo.
“Kalau info ini benar maka ini bukan lagi matahari kembar,” tuturnya.
“tapi ini adalah Jokowi 3 Priode,” terangnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana memaparkan kemungkinan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming. Ia menyebut ada tiga jalan dari sisi hukum tata negara.
Ia menjelaskan, pemakzulan Gibran mesti melibatkan tiga lembaga. DPR, Mahkamah Konstitusi (MK), dan MPR.
“Hitung-hitungan hukum tata negaranya? apakah ada pasal pemakzulan? Apakah ada korupsi? Apakah ada pengkhiantan terhadap negara? Penyuapan? Kejahatan tingkat tinggi lainnya? Kemudian perbuatan tercela, dan sebenarnya tidak memenuhi syarat menjadi wakil presiden?” kata Denny dikutip dari unggahannya di X, Sabtu (12/7/2025).
Di antara celah itu. Ia menyebut yang paling memungkinkan yakni persoalan korupsi.
“Kalau dilihat satu persatu, yang memungkinkan adalah ada isu korupsi. Misalnya, ada laporan ke KPK oleh rekan Ubedilah Badrun yang sudah lama sebenarnya,” terangnya.
Kasus dimaksud, yakni aliran dana ke dua anak Presiden ke-7 Jokowi. Kaesang Pangarep, dan Gibran sendiriZ
“Laporan itu sudah di KPK dan memang seharusnya dan memang dicari bukti-buktinya. Jika tidak terbukti, tidak ada proses hukum. Jika terbukti, itu bisa menjadi pintu masuk pemakzulan. Terutama dalam hal korupsi,” imbuhnya.
Kedua, kata dia, yakni persoalan Fufufafa. Karena bisa masuk perbuatan tercela.
“Kenapa? Karena persoalannya itu jadi pintu masuk perbuatan tercela,” ucapnya.
“Kalau memang itu terbukti, maka itu pintu masuk impeachment. Jika tidak, tentu tidak bisa diteruskan,” tambahnya.
Ketiga, kata eks Wakil Menteri Hukum dan HAM itu, yakni syarat calon wakil presiden.
“Kenapa menjadi soal? Putusan 90 adalah skandal yang merupakan tinta buram. Tinta gelap. Dalam perjalanan konstitusi kita,” terangnya.
Putusan tersebut, menurutnya tidak sah. Karena belakangan terbukti ada pelanggaran etika berat, yang diputuskan melalui Mahkamah Kehormatan MK.
“Seharusnya tidak ada putusan 90 karena ada pelanggaran etika berat. Sebagaimana putusan MK MK yang dipimpin Prof. Jimly Asshiddiqie. Kalau ini disoal, tentu saja bisa timbul persoalan hukum bahwa sebenarnya syarat pencalonan wakil presiden Gibran sedari awal bermasalah secara konstitusi,” jelasnya.
“Tiga hal itu, dugaan tindak pidana korupsi, dugaan perbuatan tercela, dan pelanggaran syarat menjadi wakil presiden sebenarnya secara hukum tata negara, memungkinkan untuk menjadi alasan pemberhentian Gibran Rakabuming Raka,” sambungnya.
Namun apakah pemakzulan memungkinkan secara politik? Menurutnya itu tergantung pada partai politik.
“Apakah secara politik terbuka pemakzulan Gibran? Tentu akan tergantung bagaimana dinamika, bagaimana hitung-hitungan. Bagaimana ketua umum parpol melihat untung rugi kepentingan politiknya,” terangnya.
Meski begitu, ia mengungkapkan mestinya pemakzulan itu bukan hanya karena untung rugi partai politik.
“Tapi seharusnya, nasib bangsa tidak hanya ditentukan oleh kepentingan politik. Tetapi lebih jauh adalah bagaimana kita menegakkan konstitusi dalam negara hukum,” tandasnya.
“Bukan soal Gibran, bukan soal Jokowi. Ini tentang bagaimana kita menaati hukum dasar kita, konstitusi bernegara kita,” tambah Denny. (Erfyansyah/Fajar)