"Akademisi bersuara sesuai rekaman sejarah berdasar sumbernya. Watak seorang akademisi tidak bisa hanya bersikap dan berbuat berdasar narasi informasi. Akademisi harus berpikir holistik, menyeluruh," tambahnya.
Ia juga menekankan pentingnya uji informasi yang transparan dan berbasis teknologi.
Bangun mendorong agar hal tersebut dilakukan secara terbuka atau transparan kepada publik dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.
"Uji informasi mengharuskan perangkat ilmiah berupa teknologi informasi yang sudah sedemikian canggih. Dunia ini tengah berpacu dengan teknologi yang makin pesat. Dengan demikian, kasus ijazah Joko Widodo itu sangat sederhana dan mudah ketika dilakukan uji informasi berdasar teknologi terkini," imbuhnya.
Ia menilai kerumitan kasus ini justru muncul karena narasi yang direkayasa.
“Karena pihak pelapor, dalam hal ini Jokowi, menggunakan logika hukum dengan menggunakan senjata narasi yang berulang-ulang. Narasi tanpa berdasar informasi yang akurat justru akan menjadi sampah teknologi," sesalnya.
Bangun bilang, para penyebar narasi memperburuk situasi dengan melibatkan institusi hukum.
“Narasi yang selalu mereka (para buzzer) sebarkan diperparah dengan merekayasa institusi hukum yang bernama polisi. Akademisi berdasar logika ilmiah, nalar akademik. Penyebar narasi berdasar logika hukum dengan orkestrasi narasi yang berulang," tukasnya.
Ia membedakan antara pendekatan akademik dan pendekatan manipulatif. Baginya, informasi yang didapat dari akademisi akan jadi data sekaligus fakta baru.