Bangun Sutoto: Kasus Ijazah Jokowi Makin Terang, Polisi Jangan Terjebak Narasi

  • Bagikan
Koordinator Relawan Alumni Universitas Gadjah Mada Bergerak (Relagama Bergerak), Bangun Sutoto.

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Polemik dugaan ijazah palsu mantan Presiden Jokowi tidak pernah kehabisan bahan untuk dibicarakan beberapa bulan terakhir.

Koordinator Relagama Bergerak, Bangun Sutoto, menegaskan bahwa arah kasus ini semakin jelas, meski tekanan terhadap akademisi terus terjadi.

“Polemik kasus ijazah Jokowi makin menemukan titik terang. Ibarat permainan puzzle raksasa, potongan gambar yang terserak di banyak tempat sudah dikumpulkan dari para pemburu informasi sesuai data dan fakta. Gambar itu makin tampak jelas dan nyata,” kata Bangun kepada fajar.co.id, Minggu (20/7/2025).

Dikatakan Bangun, aktor-aktor yang selama ini memanipulasi informasi kini mulai kelimpungan karena narasi buatan mereka mulai terbongkar.

“Ketika potongan-potongan mutilasi informasi yang direkayasa oleh pemain orkestrasi para buzzer ditemukan, mereka jadi kelimpungan,” ucapnya.

Bangun juga menyinggung peran Prof Sofian Effendi dalam menguak polemik ini. Ia menyebut mantan Rektor UGM itu sebagai akademisi sejati.

“Informasi yang telah disampaikan oleh Prof. Sofian Effendi adalah contoh seorang akademisi. Beliau adalah akademisi sekaligus mantan Rektor UGM yang punya rekam jejak profesionalitas yang sangat baik. Banyak tokoh bangsa dan akademisi di Indonesia yang mengakui kepakarannya. Kompetensi beliau sudah terbukti dan teruji," sebutnya.

Blak-blakan Bangun mengatakan akademisi bekerja berdasarkan data, bukan asumsi.

“Akademi itu bersuara berdasar fakta dan data. Sementara, pihak yang bersuara berdasar pandangan mata saja itu ciri penyebar narasi. Penyebar informasi tanpa melihat kronologi dan data adalah informasi palsu," Bangun menuturkan.

"Akademisi bersuara sesuai rekaman sejarah berdasar sumbernya. Watak seorang akademisi tidak bisa hanya bersikap dan berbuat berdasar narasi informasi. Akademisi harus berpikir holistik, menyeluruh," tambahnya.

Ia juga menekankan pentingnya uji informasi yang transparan dan berbasis teknologi.

Bangun mendorong agar hal tersebut dilakukan secara terbuka atau transparan kepada publik dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.

"Uji informasi mengharuskan perangkat ilmiah berupa teknologi informasi yang sudah sedemikian canggih. Dunia ini tengah berpacu dengan teknologi yang makin pesat. Dengan demikian, kasus ijazah Joko Widodo itu sangat sederhana dan mudah ketika dilakukan uji informasi berdasar teknologi terkini," imbuhnya.

Ia menilai kerumitan kasus ini justru muncul karena narasi yang direkayasa.

“Karena pihak pelapor, dalam hal ini Jokowi, menggunakan logika hukum dengan menggunakan senjata narasi yang berulang-ulang. Narasi tanpa berdasar informasi yang akurat justru akan menjadi sampah teknologi," sesalnya.

Bangun bilang, para penyebar narasi memperburuk situasi dengan melibatkan institusi hukum.

“Narasi yang selalu mereka (para buzzer) sebarkan diperparah dengan merekayasa institusi hukum yang bernama polisi. Akademisi berdasar logika ilmiah, nalar akademik. Penyebar narasi berdasar logika hukum dengan orkestrasi narasi yang berulang," tukasnya.

Ia membedakan antara pendekatan akademik dan pendekatan manipulatif. Baginya, informasi yang didapat dari akademisi akan jadi data sekaligus fakta baru.

Tapi sebaliknya, kata Bangun, informasi yang didapat berdasarkan perekayasa informasi, akan dijadikan narasi baru selanjutnya.

"Akademisi akan bertindak dengan menggunakan kaidah teknologi informasi yang ada. Sementara, para pemain narasi justru merekayasa informasi yang tersedia. Akademisi terus mencari data untuk menemukan kebenaran. Sedangkan perekayasa informasi mencari pembenaran. Dua hal yang berbeda dan bertolak belakang," terangnya.

Terkait tekanan terhadap Prof Sofian, Bangun menilai itu sebagai tindakan serius yang merusak iklim demokrasi.

Bahkan ia mengatakan bahwa hal tersebut merupakan salah satu contoh penjajahan akademik hingga penindasan intelektual.

"Ini sangat berbahaya dan mengancam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Bagi saya, peristiwa yang dialami oleh Prof. Sofian Effendi adalah termasuk pelanggaran HAM berat. Akademisi berbicara berdasar pengalaman empiris, fakta, dan data tapi justru dibungkam. Ini sangat tragis," imbuhnya.

Ia menegaskan, cara kerja akademisi dan penyebar narasi sangat berbeda. Akademisi mengumpulkan informasi secara terstruktur lalu disatukan menjadi satu kesatuan gambar atau kesimpulan yang utuh. Sementara, pemain narasi justru memutilasi informasi dan menyebarkannya di banyak tempat.

Kata Bangun, UGM harus menyikapi dan menempatkan kasus ijazah Jokowi dalam ranah akademisi dengan berbasis data dan fakta.

Alasannya, karena ijazah merupakan bukti otentik seseorang telah selesai menempuh tahapan akademik.
Ijazah itu tanda kerja akademik.

“Polisi juga harus obyektif berdasar data dan fakta. Polisi harus benar-benar tepat dan presisi seperti slogannya. Polisi harus menggunakan teknologi informasi yang sudah tersedia. Jangan hanya robot saja yang bisa dipamerkan. Sekali lagi polisi harus presisi. Polisi jangan terjebak pada narasi yang sudah dimutilasi," tandasnya.

Melihat polemik ini terus berlarut-larut, Bangun bilang, akademisi dan aparat hukum mesti bersatu menjaga integritas negara.

“Akademisi dan polisi bersinergi menyatukan informasi untuk menjaga keutuhan NKRI," kuncinya. (Muhsin/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan
Exit mobile version