FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Koordinator Relagama Bergerak, Bangun Sutoto, mendadak memberikan singgungan terhadap Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang baru-baru ini menggelar Kongres.
Bangun melihat hal menarik pada logo PSI dalam Kongres tersebut resmi diubah dari bunga mawar ke gajah kepala merah.
Diceritakan Bangun, saat melintas di simpang lima Komplang, berjarak kurang lebih 300 meter dari rumah Jokowi, ia melihat bendera PSI.
"Ada yang menarik di seputaran simpang tersebut yang membuat saya tergelitik. Apa itu? Atribut bendera dan flyer salah satu parpol. Parpol baru tapi juga belum lama. Parpol belum lama ada tapi ganti logo baru," kata Bangun kepada fajar.co.id, Senin (21/7/2025).
Bangun menuturkan bahwa saat itu matanya langsung tertuju pada logo baru PSI. Seekor gajah bertubuh hitam dan berkepala merah.
"Yang membuat pikiran saya tergelitik adalah posisi si gajah yang mendongak dengan kepala yang terpisah. Bisa dibilang, logo itu lebih kepada ilustrasi seekor gajah yang terpenggal kepalanya. Entahlah," ucapnya.
Ia kemudian mencoba menerjemahka logo PSI, meskipun belum membaca makna sebenarnya di portal resminya yang dulu bersimbol bunga mawar dalam genggaman tangan kiri.
"Si gajah tengah menengadah kepada Sang Maha Kuasa siap menerima karma atau hukuman. Kepala yang terpenggal saya terjemahkan sebagai hukuman. Kira-kira demikian," tukasnya.
Kata Bangun, logo atau simbol memiliki filosofi yang tidak asal-asalan dibikin. Ada bahasa atau pesan tersirat dari sebuah logo. Seekor banteng bermoncong putih juga memiliki makna dan pesan.
"Logo sebuah partai politik pasti mengandung pesan politik juga. Apalagi parpol itu dengan bangganya menuliskan Partai Super Tbk alias Partai Super Terbuka," imbuhnya.
Pertanyaan selanjutnya, kata Bangun Keanggotaan, sumber dana, agenda ke depan dari PSI patut digarisbawahi.
"Saya jadi teringat dengan salah satu mata kuliah di jurusan Ilmu Pemerintahan saat masih menjadi mahasiswa. Dalam mata kuliah Metodologi Ilmu Pemerintahan dan Politik (MIPP), dosen saya mengilustrasikan bahwa ilmu politik itu bisa dibilang seperti ilmu perdukunan," sebutnya.
"Kita diajak untuk tahu dan paham dengan sesuatu yang tidak tampak mata. Kita juga diajak untuk tahu di balik yang tampak. Menarik bukan?," tambah Bangun.
Ia kemudian mengutip salah satu pakar politik Indonesia, Prof. Salim Said yang pernah berkata bahwa politik itu seperti udara.
"Semua orang butuh udara. Tapi, udara itu tak tampak namun ada. Sebuah teori singkat yang mudah dipahami," beber Bangun.
Dijelaskan Bangun, ilustrasi gajah yang mendongak dengan kepala terpisah sah-sah saja jika publik memaknainya sebagai sebuah kematian akibat hukuman.
"Bisa jadi hukuman dari alam karena melawan hukum Tuhan. Entahlah. Yang jelas, jangan tanya saya," terangnya.
Sebagai pengamat, lulusan Fisipol UGM ini mengatakan bahwa pidato politik perdana Kaesang selaku Ketum tampak kurang percaya diri.
"Mengawali pidato politik dengan permintaan maaf atas kegagalannya di kontestasi pemilu 2024 untuk membawa partai itu ke Senayan. Pidato politik yang nyaris tidak berenergi. Padahal bisa dibilang kongres parpol super terbuka yang dibawanya itu ada di rumahnya sendiri," bebernya.
"Ditunggui bapak ibu dan keluarganya pula. Tapi kenapa pidato politiknya tidak berapi-api sebagaimana jiwa muda, bro? Ada apa denganmu? Ayo jawab dengan terbuka saja," sambung dia.
Bangun bilang, Kaesang bukan anak keturunan Gesang, pencipta syair Bengawan Solo yang melegenda. Gesang (Jawa) berarti hidup. Sementara lawan kata hidup adalah mati.
"Gesang menjadi salah satu maestro musik keroncong Indonesia dan namanya mendunia. Walau Gesang sudah tiada, namun energi dan syairnya masih ada dan melegenda. Gesang berpulang kepada Sang Pencipta meninggalkan legacy," tandasnya.
(Muhsin/fajar)