Oleh: Desy Selviana
(Pustakawan)
Sulawesi Selatan merupakan wilayah yang tidak hanya dikenal karena kekayaan geografisnya, tetapi juga karena keberagaman tradisi dan nilai budaya yang masih bertahan dalam kehidupan masyarakatnya.
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) menjadi salah satu wilayah yang menjaga berbagai bentuk kearifan lokal.
Tiga di antaranya: accera timbusu, passaungan tau, dan mappalili, menjadi bukti bagaimana manusia Pangkep menjalin ikatan yang mendalam dengan alam, leluhur, dan sesamanya.
Di Kampung Parangluara, Desa Bantimurung, masyarakat masih menjaga sebuah tradisi sakral bernama accera timbusu. Dalam bahasa Makassar, cera berarti darah dan timbusu berarti mata air. Tradisi ini bermakna “memberi darah kepada mata air” sebagai bentuk syukur dan penghormatan kepada sumber kehidupan.
Setiap sepuluh tahun sekali, warga menyembelih seekor sapi di mata air yang dianggap keramat. Mereka percaya, ritual ini dapat mendatangkan keberkahan, mencegah bencana, dan menyuburkan tanah.
Ritual ini tak selalu dilakukan tepat waktu, sebab pelaksanaannya bergantung pada kesiapan dan gotong royong warga. Terkadang, warga yang baru pulang dari rantau turut menyumbang demi menjaga keberlangsungan adat. Setelah accera timbusu digelar, masyarakat melihat perubahan: tanah menjadi lebih subur, longsor jarang terjadi, dan air hujan membawa pasir ke sawah yang justru menyuburkan lahan.
Beranjak ke Kampung Belae, Kelurahan Biraeng, tradisi menyelesaikan konflik secara adat dikenal sebagai passaungan tau. Awalnya, perselisihan diselesaikan melalui musyawarah di gua bernama Leang Camming Kana, yang berarti “cermin perkataan”.
Jika tidak ditemukan titik temu, pertarungan dilakukan secara ritual di arena bernama passaungan, setelah kedua pihak dimandikan di sumur keberanian (bujung to barania).
Arena pertarungan ini masih ada hingga kini, berupa gundukan tanah melingkar di bawah pohon kajuarayya. Keluarga dilarang mendekat saat pertarungan berlangsung; mereka hanya diperbolehkan menyaksikan dari atas Bukit Tanetea.
Pertarungan ini bukan sekadar adu kekuatan, tetapi dianggap sebagai cara menegakkan kebenaran. Yang menang dianggap benar, yang gugur diterima dengan ikhlas, tanpa dendam. Senjata milik yang tewas dikubur sebagai tanda duka, sekaligus mengakhiri konflik sepenuhnya.
Sementara itu, di Segeri, sebuah kecamatan di Pangkep, terdapat ritual pembuka musim tanam yang disebut mappalili. Ritual ini dipimpin oleh bissu —komunitas nonbiner yang dipercaya sebagai penjaga hubungan antara manusia dan dunia roh.
Tradisi ini lahir dari krisis gagal panen pada masa Kerajaan Siang, yang mendorong lahirnya kesepakatan: musim tanam harus dibuka dengan upacara adat dan dilakukan serentak agar hasilnya berhasil.
Para bissu bukan sekadar pemimpin upacara. Mereka adalah figur suci yang harus melalui tahapan spiritual panjang sebelum diangkat, termasuk ritual irebbai—kematian simbolik yang menandai kelahiran baru sebagai bissu.
Dalam ritual mappalili, mereka memimpin doa, tarian sere’ bissu, dan maggiri—atraksi spiritual di mana tubuh mereka tidak terluka meski ditusuk badik. Lebih dari sekadar pertunjukan, mappalili menjadi simbol gotong royong, pengelolaan pertanian yang bijak, dan keselarasan antara manusia dan alam.
Tiga tradisi ini menjadi cermin bagaimana masyarakat Pangkep memahami hubungan yang utuh antara manusia, alam, dan leluhur. Di tengah arus modernisasi, mereka menunjukkan bahwa tradisi bukan sekadar peninggalan, melainkan sumber nilai dan arah hidup yang tetap bermakna hingga kini. (*)