"Tentunya kesalahan elite yang tergabung dalam percepatan pembentukan koperasi desa, Presiden yang di dalam bagian yang bertanggungjawab, akhirnya menjerumuskan semua pihak, terlalu dini untuk dipaksakan," Heru menuturkan.
Melihat banyak masalah dalam program ini, Heru menegaskan bahwa KDMP tidak akan berumur panjang.
"Soal pendanaan yang tidak jelas, kemudian pengembangan SDM, dan tata kelolanya," ucap Heru.
Tambahnya, langkah Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi dengan menganggarkan Rp5 triliun untuk belanja pelatihan dan monitoring koperasi, belum sepenuhnya bisa dicairkan.
"Bahkan tidak disetujui, karena anggaran ini pada akhirnya akan dipangkas, dianulir Prabowo. Juga masalah keberlanjutan koperasi desa ini, bagaimana sistem usaha bisa menghasilkan profit. Ada sebuah rentetan yang menjadi bagian dari kegagalan awal," jelasnya.
Heru menduga, kasus di Tuban bisa jadi juga terjadi di daerah lain yang menjadi lokasi percontohan.
"Menggunakan dana talangan mungkin dari pihak misalnya elite politik, kepala daerah, atau vendor seperti di Tuban. Ini sebenarnya eforia atau politik angan-angan bersama kabinet Prabowo-Gibran dalam hal berpikir tentang mengelola ekonomi kerakyatan," terangnya.
Heru bilang, pemerintah mesti realistis dengan kondisi saat ini. Indonesia memiliki tumpukan utang luar negeri yang mesti dibayar. Di sisi lain, daya beli masyarakat juga cenderung menurun.
"Ini sebenarnya masalah fundamental yang diselesaikan. Proyek ekonomi kerakyatan ini dieksekusi dalam wilayah-wilayah populis tanpa perencanaan matang. Ini jika dipaksakan diteruskan, akan menimbulkan kegagalan yang parah," kuncinya. (Muhsin/fajar)