FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Vonis yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terhadap mantan Menteri Perdagangan (Mendag), Thomas Trikasih Lembong terus memantik dan menuai reaksi dari berbagai pihak.
Betapa tidak, vonis tersebut dinilai sangat bertentangan dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, termasuk kesimpulan para hakim sendiri yang menyebut tidak terbukti ada aliran korupsi yang diterima Tom Lembong.
Anehnya, salah satu pertimbangan hakim memvonis bersalah Tom Lembong karena kebijakannya dinilai berpihak kepada ekonomi kapitalis, bukan pancasila.
Politikus Partai Demokrat, Benny K Harman ikut angkat suara atas vonis 4,5 tahun yang dijatuhkan terhadap Tim Lembong dalam kasus dugaan korupsi imprtasi gula.
Benny K Harman menegaskan, dalam proses hukum apapun di pengadilan, akal sehat menjadi hal utama. Dia menyebut, akal sehat inilah yang menjadi akar dari sebuah keadilan.
"Dlm proses hukum apapun di pengadilan, akal sehat itulah yang utama. Akal sehat itulah keadilan. Proses hukum yg abaikan akal sehat sudah pasti jauh dari keadilan sebenarnya," kata Benny K Harman.
Dia lantas mempertanyakan alasan para penegak hukum yang justru tidak menyentuh sama sekali pihak yang memberi perintah. Pasalnya, impor yang dilakukan Tom Lembong dilakukan berdasarkan perintah dari pemerintah itu. "Mengapa yang memberi perintah tidak dihukum?," tanya Benny K Harman.
Dia juga mempertanyakan urgensi para hakim yang menyidangkan kasus Tom Lembong untuk menghitung sendiri kerugian negara. "Mengapa hakim hitung sendiri kerugian negara?," tambahnya.
Sebelumnya, Tom Lembong divonis 4 tahun 6 bulan penjara dalam kasus dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015–2016. Ia dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp194,72 miliar.
Majelis hakim menyebut Tom Lembong menerbitkan surat pengajuan atau persetujuan impor gula kristal mentah, kepada 10 perusahaan tanpa rapat koordinasi antarkementerian dan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
Selain pidana penjara, Tom Lembong dijatuhi denda sebesar Rp750 juta. Jika tidak dibayar, denda tersebut diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Perbuatan Tom Lembong dinyatakan melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut hukuman 7 tahun penjara. Namun, pidana denda yang dijatuhkan tetap sama dengan tuntutan, yakni Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan.
Terhadap putusan ini sendiri, penasihat hukum Tom Lembong, Zaid Mushafi, menyatakan bahwa kliennya tidak ingin namanya tercatat sebagai koruptor di Indonesia.
Karena itu, tim hukum mengajukan banding atas vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. (fajar)