FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) masih terus berjalan di Parlemen.
Hal itu disampaikan oleh Ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani dalam konferensi pers usai Rapat Paripurna DPR RI ke-24 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2024-2025, yang digelar di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (15/7/2025).
“Terkait dengan (RUU) KUHAP, DPR tentu saja sampai saat ini masih melakukan proses pembahasan. Dan kami melakukan pembahasan tersebut secara terbuka,’ ujar Puan kepada para wartawan.
Dia menjelaskan bahwa DPR telah dan terus melibatkan berbagai pihak dalam proses penyusunan dan pembahasan revisi KUHAP, baik melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) maupun Rapat Dengar Pendapat (RDP).
Menurutnya, proses ini tidak dilakukan secara tergesa-gesa karena menyangkut instrumen hukum yang krusial dan berdampak langsung pada penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia.
“Kami mengundang pihak-pihak yang memang kami harus lakukan bersama-sama untuk bisa melakukan pembahasan tersebut,” imbuh Puan.
Menanggapi isu bahwa pembahasan RUU KUHAP terkesan tertutup atau belum diumumkan ke publik, Puan menegaskan bahwa hal tersebut terjadi semata-mata karena prosesnya memang masih berlangsung dan belum sampai pada tahap penyampaian resmi ke publik secara menyeluruh.
Diketahui, Revisi KUHAP dibutuhkan untuk menyelaraskan prosedur acara pidana dengan KUHP baru yang akan berlaku mulai 1 Januari 2026.
KUHAP yang ada saat ini berasal dari UU Tahun 1981 dan berbasis aturan zaman kolonial yang sudah tidak relevan lagi dengan tantangan hukum modern.
Pemerintah menyebut revisi ini penting untuk menjamin hak asasi manusia, keadilan, serta kepastian hukum yang lebih baik.
Surat Presiden (Surpres) telah ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto pada Maret 2025, membuka pintu pembahasan lanjut antara DPR dan Pemerintah.
Pembahasan resmi dilakukan oleh Komisi III DPR, yang menargetkan revisi rampung sebelum akhir 2025 agar bisa berlaku serentak dengan KUHP baru.
Berdasarkan penjelasan Komisi III DPR, terdapat 7 substansi pokok dalam RUU KUHAP:
Kewenangan aparat tidak berubah: Polri tetap sebagai penyidik utama dan jaksa sebagai penuntut tunggal.
Kewajiban pemasangan CCTV dalam setiap ruang pemeriksaan dan tahanan untuk mencegah kekerasan dalam penyidikan.
Penguatan peran advokat: advokat mendapatkan hak protes jika ada intimidasi, dan kini bisa mendampingi saksi serta korban, bukan hanya tersangka.
Bab khusus restorative justice (RJ): fokus pada pemulihan korban dan rehabilitasi pelaku; termasuk kasus penghinaan Presiden diatur bisa diselesaikan dengan RJ.
Perlindungan kelompok rentan: perempuan, difabel, dan lansia mendapat perlakuan khusus selama proses hukum.
Pengetatan syarat penahanan: memperjelas alasan seperti risiko melarikan diri, merusak bukti, dan pengulangan tindak pidana.
Durasi penetapan tersangka dibatasi maksimal sampai dua tahun, meningkatkan kepastian hukum dan mencegah status tersangka berkepanjangan tanpa pemeriksaan yang tuntas.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai draf revisi 2025 adalah kemunduran dibanding versi 2012. Masih banyak pasal krusial yang absen, seperti mekanisme habeas corpus, peran hakim pendahuluan, dan jaminan hak-hak terdakwa.
Masukan publik dinilai belum diterima secara substansial; draft baru dianggap hanya menyalin norma lama dan menyederhanakan kontrol internal aparat hukum tanpa reformasi nyata.
Protes dari warganet di Reddit menyinggung isu penguatan jaksa dan potensi dominasi kekuasaan institusi, seraya membandingkan revisi KUHAP dengan agenda revisi UU Polisi dan UU Kejaksaan juga berjalan bersamaan.