Ketika Bugis-Makassar Menulis Sejarahnya Sendiri

  • Bagikan
Ilustrasi tulisan kuno.

Oleh: Desy Selviana
(Pustakawan)

Naskah-naskah kuno dari Bugis dan Makassar menyimpan catatan penting tentang sejarah, adat, dan kehidupan spiritual masyarakat Sulawesi Selatan.

Ditulis dalam aksara Lontaraq, Arab Serang, dan Latin, teks-teks ini menjadi bukti bahwa tradisi literasi dan dokumentasi telah lama hadir, bahkan sebelum sistem pendidikan modern diperkenalkan.

Beberapa naskah memuat surat dari raja kepada pejabat pemerintahan atau sesama bangsawan. Dalam satu surat, Raja Bone meminta Gubernur Makassar menunda keberangkatan ke Sumatra demi menyelesaikan persoalan rakyat. Surat tersebut ditulis dalam aksara: Bugis, Arab, dan Belanda, menunjukkan kecakapan literasi multibahasa saat itu.

Isi naskah-naskah lainnya mencerminkan dinamika masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Ada catatan harian yang merinci peristiwa-peristiwa penting, hubungan antarkerajaan, hingga kegiatan ekonomi seperti utang-piutang dan perdagangan.

Tokoh-tokoh seperti Arung Palakka, Kajao Laliddong, dan Petta Ponggawaé muncul dalam teks sebagai penentu arah sosial dan politik. Catatan-catatan ini mencerminkan cara masyarakat mengelola hukum, menyelesaikan konflik, serta menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan adat.

Cerita tentang To Manurung mencerminkan kepercayaan masyarakat Bugis bahwa pemimpin pertama berasal dari dunia langit dan diturunkan ke bumi. Sementara itu, silsilah raja-raja Bone merekam kesinambungan kekuasaan yang diwariskan secara turun-temurun, sebagai bagian dari tatanan sosial dan adat yang dijunjung tinggi.

Hubungan antarwilayah juga tampak dalam naskah-naskah yang mencatat perjanjian kerja sama antara kerajaan Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Di dalamnya dibahas batas wilayah, sistem pemerintahan bersama, dan kesepakatan hukum adat. Semua itu menunjukkan bahwa konsep kenegaraan berbasis musyawarah telah berlangsung jauh sebelum era modern.

Dimensi spiritual sangat kental dalam banyak naskah. Terdapat teks-teks yang memuat doa-doa, ajaran tasawuf, kutika (penanggalan hari baik dan buruk), hingga jimat-jimat untuk perlindungan dalam pelayaran atau bercocok tanam. Salah satu naskah menceritakan tentang burung Tambalitettok yang konon diberi oleh Nabi Sulaiman, dan dipercaya memiliki khasiat pengobatan serta kekuatan pelindung.

Kehidupan sehari-hari juga terekam dalam naskah dengan cukup rinci. Ada catatan harian yang memuat kegiatan perdagangan, perhitungan keuangan, hingga ramalan cuaca untuk pelaut. Dalam beberapa teks ditemukan pula pedoman membangun rumah, pengobatan tradisional, dan aturan tentang pertanian serta pelayaran.

Cerita epik I La Galigo hadir dalam berbagai versi dan fragmen. Naskah-naskah ini menggambarkan kisah asal mula kehidupan, hubungan antara dunia atas dan dunia bawah, serta tata nilai yang diwariskan melalui mitologi. Keberadaan La Galigo memperkuat posisi budaya Bugis-Makassar dalam khazanah sastra dunia.

Naskah-naskah tersebut ditulis di atas media yang beragam dari kertas Eropa berwatermark hingga daluang dan lontar—dengan berbagai cap air yang menandakan hubungan dagang dan interaksi lintas budaya. Setiap halaman yang menguning menyimpan nilai-nilai lokal yang masih relevan untuk dibaca hari ini: tentang kepemimpinan, etika, tanggung jawab sosial, dan spiritualitas.

Naskah-naskah kuno Bugis dan Makassar bukan hanya warisan budaya, tetapi juga jejak autentik tentang bagaimana masyarakat Sulawesi Selatan mencatat sejarah, adat, dan spiritualitas mereka sendiri. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan