"Sebuah pengingat bahwa perjuangan pendidikan tak selalu butuh gedung—tapi butuh keyakinan untuk bertumbuh secara organik."
Kembali Pulang di Rumah Sendiri
Bagi banyak peserta, memasuki Rumah Anak Bangsa bukan sekadar keputusan pendidikan—melainkan keputusan eksistensial. Di sini, mereka menemukan kata-kata baru, tapi juga dunia baru. Istilah-istilah asing dalam literatur mencerminkan bagian-bagian diri yang selama ini tak mereka pahami—hingga akhirnya bisa diungkapkan.
“Rasanya seperti ditembak dengan kosa kata,” ucap Sakkir salah satu peserta diskusi kala itu.
“Bukan terluka, tapi terbangun.”
Di era di mana gawai menggantikan gagasan, rumah kata ini menjadi benteng melawan kebodohan—menyusur dan menuntun generasi muda melewati kabut disinformasi, ketakutan, dan standar rendah.
Bahasa adalah Tali Penyelamat
18 tahun berlalu, Rumah Anak Bangsa bukan lagi sekadar rumah. Ia adalah gerakan. Ia adalah simbol. Ia adalah penolakan terhadap komersialisasi pendidikan, dan tekad untuk tidak membiarkan bahasa mati di pinggiran kehidupan.
"Ulang tahun ini bukan perayaan panjang usia—melainkan pernyataan tentang keberlanjutan makna."
Dunia di mana judul berita berteriak dan jalanan dipenuhi diam, rumah kecil di Pare ini menyampaikan satu gagasan berbahaya. "Bahwa setiap warga, dengan bahasa sebagai senjata, punya kuasa untuk bertanya, untuk terhubung, dan untuk mencipta. Dan itu, barangkali adalah hal paling radikal dari semuanya," tutup Sakkir. (Sam/Fajar)