FAJAR.CO.ID -- Wakil menteri (wamen) di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto belum rela melepas jabatan komisaris di sejumlah BUMN. Sebanyak 34 wamen masih kukuh rangkap jabatan meski Mahkamah Konstitusi sudah melarang wamen rangkap jabatan. Belum ada wamen yang mengundurkan diri.
Anggota Komisi II DPR Muhammad Khozin mengimbau para wamen mengundurkan diri secara sukarela dari posisinya sebagai komisaris di BUMN. Imbauan tersebut menyusul larangan MK sudah menegaskan bahwa Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019 telah melarang rangkap jabatan oleh menteri maupun wamen.
"Para wakil menteri dengan sukarela dapat mengajukan pengunduran diri dengan memilih salah satu jabatan yang dijabat saat ini; posisi wakil menteri atau komisaris," kata Khozin, Jumat (18/7/2025).
Menurutnya, putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019 harus menjadi pedoman Menteri BUMN Erick Thohir dalam menunjuk komisaris di BUMN.
Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019 mengatur bahwa menteri maupun wakil menteri setara, sehingga keduanya dilarang untuk rangkap jabatan.
Pertimbangan mahkamah dalam Putusan MK No 21/2025 atas uji materi UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara merujuk putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang isinya melarang menteri rangkap jabatan dengan jabatan publik seperti komisaris BUMN. Larangan tersebut juga berlaku bagi Wakil Menteri.
Putusan MK 80/PUU-XVII/2019 yang dimaksud berkaitan dengan pertimbangan MK yang menegaskan larangan rangkap jabatan untuk wakil menteri.
"Dengan status demikian, maka seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri," bunyi 80/PUU-XVII/2019 itu.
Tanggapan Ketua MPR
Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mempertegas larangan kepada menteri maupun wakil menteri untuk rangkap jabatan ditanggapi Ketua MPR Ahmad Muzani.
Dia menilai larangan rangkap jabatan hanya terdapat dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019, bukan putusannya.
"Tidak ada kewajiban untuk dilaksanakan karena itu pertimbangan untuk sebuah keputusan, tapi keputusannya tidak begitu. Itu kan bukan keputusan, tapi itu pertimbangan," kata Muzani.
Sekjen Partai Gerindra itu berdalih pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi bukanlah keputusan yang mengikat. Menurutnya, tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk melaksanakan Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019 itu.
Bagian "Serakahnomics"
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengaku resah pada praktik keserakahan dalam ekonomi nasional. Prabowo dalam berbagai pidatonya menyebut akar dari ketimpangan sosial dan ekonomi di Indonesia tak lain adalah suburnya budaya keserakahan, yang ia sebut dengan serakahnomics.
Dilansir dari Metrotvnews.com, ekonom dari Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai istilah serakahnomics yang dilontarkan Presiden Prabowo merupakan kritik tajam terhadap praktik ekonomi yang menyimpang dari prinsip keadilan sosial.
Dia menyoroti praktik tersebut menjelma menjadi budaya kekuasaan yang menormalisasi rente dan penyalahgunaan jabatan publik. Serakahnomics tumbuh dalam ruang kekuasaan yang tidak transparan, jabatan publik dirangkap demi honorarium ganda, proyek negara dikemas demi rente dan loyalitas politik. (*)