FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pegiat Medsos, Ary Prasetyo, memberikan komentar menohok usai Menteri HAM, Natalius Pigai, menyebut pertukaran data dengan AS tidak melanggar.
Ary semakin geram dan mengatakan bahwa para pejabat memiliki ruang untuk bekerja semaunya. Meskipun tidak pro terhadap rakyat.
"Suka-suka lu. HAM menurut kalian kan bisa disesuaikan dengan $ (Dollar)!," kata Ary di X @Ary_PrasKe2 (27/7/2025).
Untuk diketahui, Natalius menegaskan bahwa kesepakatan antara Indonesia dengan AS terkait pertukaran data tidaklah bertentangan dengan HAM.
Sebelumnya, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, meluruskan kabar yang beredar terkait pengelolaan data pribadi warga Indonesia oleh Amerika Serikat usai adanya kesepakatan tarif resiprokal antara kedua negara.
Hasan menegaskan bahwa perlindungan terhadap data pribadi tetap berada dalam kendali penuh pemerintah Indonesia.
"Kita sudah punya perlindungan data pribadi, dan perlindungan data pribadi ini dipegang oleh pemerintahan kita,” kata Hasan Nasbi dalam pernyataannya dikutip pada Kamis, siang.
Ia juga menekankan bahwa tidak ada campur tangan negara lain dalam pengelolaan data warga Indonesia.
Koordinasi intens telah dilakukan bersama pihak-pihak terkait, termasuk Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.
"Kalau soal pengelolaan data, kita masing-masing. Saya sudah koordinasi sama Pak Menko Airlangga yang jadi leader dari negosiasi ini,” lanjut Hasan.
Lebih jauh, Hasan menjelaskan bahwa sistem yang disepakati dalam kerja sama tersebut semata-mata menyangkut data pribadi yang berkaitan dengan transaksi komersial.
Sementara itu, Jhon Sitorus, menuturkan hal senada dengan Ary Prasetyo. Baginya, ini bukan sekadar soal ekonomi, melainkan bentuk nyata dari penyerahan kedaulatan digital ke tangan asing.
“Kita tidak sedang dijajah. Kita hanya sedang mempersilahkan asing (Amerika Serikat) menjajah Indonesia,” kata Jhon kepada fajar.co.id, Kamis (24/7/2025).
Ia menilai, jika data pribadi warga RI benar-benar dikelola pihak luar, maka itu sama saja dengan menyerahkan aset strategis bangsa secara cuma-cuma.
“Jika data pribadi warga RI dikelola Amerika Serikat, ini artinya kita menyerahkan aset berharga bagi mereka,” ucapnya.
Jhon menegaskan, di era digital seperti sekarang, kekuatan sebuah negara tidak hanya ditentukan oleh sumber daya alam (SDA) dan hasil hilirisasi, tetapi juga oleh kendali atas big data.
“Big data adalah salah satu kekuatan terbesar sebuah negara, bukan sekadar SDA dan hilirisasinya lagi,” cetusnya.
Ia pun mengingatkan bahaya besar jika data tersebut jatuh ke tangan asing.
“Negara yang menggadaikan data warganya ke negara asing, maka siap-siap kita akan dikontrol oleh asing,” Jhon menuturkan.
Lebih jauh, Jhon bilang bahwa kebijakan ini justru akan dimanfaatkan oleh para koruptor yang senang melihat kedaulatan digital Indonesia diobral.
“Gimana enggak gelap kalau data saja harus digadaikan ke asing? Justru koruptor senang dengan kebijakan amburadul ini, jangan malah menuduh rakyat,” kuncinya. (Muhsin/fajar)