FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Dian Sandi Utama, kembali angkat bicara terkait mencuatnya kembali isu pemakzulan Wapres Gibran Rakabuming Raka dan dugaan ijazah palsu Jokowi.
Ia menilai isu tersebut sengaja diembuskan sebagai bagian dari agenda politik yang didukung pihak tertentu.
Namun, menurutnya, klaim soal "agenda besar" itu justru liar dan tidak bertanggung jawab, karena tak pernah disertai dengan penjelasan siapa aktor di baliknya.
"Pernyataan ada agenda besar politik dalam isu ijazah dan dibackup oleh orang besar itu diartikan liar, karena tanpa menyebut nama," ujar Dian di X @DianSandiU (27/7/2025).
Dian pun menyindir keras pihak-pihak yang merasa paling besar di ranah politik dan kerap menyerang tanpa dasar.
"Padahal sudah ada yang selalu mengaku dan merasa besar, sampai menyebut diri imam besar," ucapnya.
Ia juga menegaskan bahwa polemik soal ijazah Jokowi seharusnya telah selesai sejak 1 April 2025, ketika dokumen resmi itu ditunjukkan ke publik.
"Pak Jokowi sudah menyampaikan bahwa ijazah yang saya posting adalah milik beliau. Maka yang selama ini teriak-teriak tunjukkan ijazahnya, ya selesai! Sudah ditunjukkan," tegas Dian.
Sebelumnya, mahasiswa UGM angkatan 2023, Faiz Wildan, menyayangkan isu tersebut terus diangkat ke ruang publik.
Baginya, polemik itu tidak memberikan dampak berarti terhadap perbaikan kebijakan atau kehidupan masyarakat secara luas.
“Saya sebagai mahasiswa tentu mengajak masyarakat untuk menggunakan pola pikir yang sama. Isu ijazah Jokowi itu tidak ada manfaatnya, tidak bisa membatalkan kebijakan yang sudah ada," ujar Faiz, Sabtu (26/7/2025).
"Lebih baik kita soroti isu-isu yang benar-benar menyentuh masyarakat,” tambahnya.
Faiz menilai, isu-isu strategis seperti pengangguran, inflasi, hingga ketimpangan sosial seharusnya lebih layak untuk menjadi perhatian bersama.
Ia berharap publik tidak terjebak dalam isu yang menurutnya tidak substansial.
Sementara itu, Ketua Kagama Cirebon, Heru Subagia, menyebut dirinya sempat menerima sejumlah mahasiswa UGM yang datang berdiskusi mengenai dinamika politik nasional, termasuk soal ijazah Jokowi.
“Mereka sepakat bahwa isu ijazah Jokowi tidak berdampak langsung terhadap kegiatan akademik atau kepentingan publik secara umum. Justru mereka menantang masyarakat untuk berpikir, sejauh mana polemik ini relevan bagi bangsa ini?” kata Heru.
Dikatakan Heru, para mahasiswa justru mendorong agar diskursus politik nasional diarahkan pada hal-hal yang lebih menyentuh hajat hidup rakyat banyak.
“Saya melihat keberanian adik-adik mahasiswa UGM, yang jujur mengatakan mereka tak perlu bicara banyak soal ijazah Jokowi. Bahkan, mereka menantang balik masyarakat untuk mempertanyakan kembali urgensinya,” tambahnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya membangun ruang diskusi yang sehat dan tidak terjebak pada isu sensasional yang tak berdampak terhadap pembangunan bangsa.
“Kita perlu mendorong semua pihak, termasuk elite politik, media, dan masyarakat, untuk berfokus pada wacana produktif demi kemajuan Indonesia,” pungkas Heru.
(Muhsin/fajar)