Data Apindo, 50 Persen Perusahaan Kurangi Karyawan saat Minim Lapangan Kerja Baru

  • Bagikan
Ketua Apindo Shinta W Kamdani

FAJAR.CO.ID -- Kondisi perekonomian global yang tak menentu, berdampak pada perekonomian Indonesia. Pengusaha tidak hanya menahan ekspansi, bahkan telah mengurangi jumlah karyawan hingga 50 persen.

Ketua Umum Apindo, Shinta Widjaja Kamdani, mengungkap hasil survei internal yang dirilis Apindo
menunjukkan lebih dari 50 persen perusahaan yang merupakan responden menyatakan telah mengurangi jumlah tenaga kerja.

Lebih mengkhawatirkan lagi, langkah pengurangan karyawan tersebut tidak berhenti pada angka 50 persen itu saja. Sebagian besar perusahaan yang menjadi responden masih berencana melakukan pengurangan lanjutan dalam waktu dekat.

Dengan kondisi perekonomian yang lesu, perusahaan menahan ekspansi bisnisnya. Tentu saja harus mengambil langkah menunda rekrutmen dan fokus pada efisiensi dibanding mengambil risiko baru.

Shinta menilai patut juga dicermati soal rendahnya produktivitas dalam negeri saat ini. Indonesia salah satu negara dengan produktivitas tenaga kerja terendah di ASEAN, yakni hanya USD23,57 ribu per pekerja, lebih rendah dari rata-rata kawasan yang mencapai USD24,27 ribu.

"Transformasi industri saat ini bergerak ke arah otomatisasi dan digitalisasi, juga belum bisa diimbangi dengan peningkatan keterampilan tenaga kerja,” kata Shinta dalam acara Dewas BPJS Menyapa Indonesia di Auditorium BRIN, Jakarta Pusat, Senin (28/7).

Lebih mengkhawatirkan lagi, karena di tengah gelombang pemutusan tenaga kerja alias PHK yang masih terus berjalan, lapangan kerja baru justru tidak cukup banyak tersedia.

Di sisi lain, kompetisi kawasan semakin ketat. Pemerintah dan semua stakeholder harus memperhatikan peningkatan daya saing.

Tenaga kerja maupun calon tenaga kerja harus meningkatkan pemahaman literasi digital, pelatihan vokasi (vocational upscaling), dan pembenahan ekosistem pendidikan agar selaras dengan kebutuhan industri.

Shinta juga mengingatkan beberapa faktor pendorong PHK dalam negeri, seperti aktivitas manufaktur Indonesia terus mengalami tekanan, pelemahan yang terlihat pada kinerja ekspor yang turun 7,53 persen pada kuartal pertama 2025, serta tantangan struktural yang makin terasa.

Perlu menjadi perhatian soal kelas menengah yang selama ini menjadi motor konsumsi nasional juga menyusut. Shinta memaparkan terjadi penurunan hingga 9,5 juta orang dalam lima tahun terakhir, mengindikasikan tekanan terhadap segmen ekonomi yang selama ini menopang pertumbuhan.

Di sisi produksi, pelaku industri dibebani kenaikan harga energi, bahan baku, serta fluktuasi nilai tukar impor.

Biaya tenaga kerja pun meningkat, tetapi belum dibarengi peningkatan produktivitas yang memadai.

“Sementara itu, struktur industri manufaktur masih mengalami masalah mendasar di sisi efisiensi logistik dan rantai pasok,” tutup Shinta.

Sebelumnya, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyoroti banyaknya tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Januari-Juni 2025. Salah satunya PT Sritex yang banyak memangkas pekerja pada awal tahun.

Berdasarkan Satu Data Kemnaker, sepanjang Januari-Juni 2025 terdapat sebanyak 42.385 tenaga kerja terdampak PHK.

Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan (Barenbang) Kemnaker Anwar Sanusi
mengungkapkan, tahun ini ada momentum sekitar bulan Januari dengan PHK yang sangat besar jumlahnya dalam satu perusahaan.

Anwar mengatakan jumlah PHK bulan Juni sebanyak 1.609 kasus lebih rendah dibandingkan dengan Mei yang sebanyak 4.702 kasus.

Berdasarkan Satu Data Kemnaker, pada Januari 2025 terjadi sebanyak 9.497 kasus PHK, Februari 17.796, kemudian 4.987 kasus PHK pada Maret, lalu 3.794 kasus PHK pada April, lanjut lagi 4.702 kasus PHK pada Mei 2025 dan 1.609 kasus PHK pada Juni.

Jawa Tengah masih jadi penyumbang terbanyak kasus PHK yaitu 10.995 kasus, kemudian Jawa Barat 9.494 kasus, disusul 4.257 kasus PHK sepanjang Januari-Juni 2025 di Banten, Jakarta sebanyak 2.821 kasus, 2.246 kasus di Jawa Timur. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan