FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ekonom, Awalil Rizky, mengkritisi standar penghitungan kemiskinan ekstrem yang digunakan pemerintah Indonesia.
Dikatakan Rizky, pendekatan yang dipakai saat ini cenderung mengaburkan realitas sebenarnya di lapangan.
“Penduduk miskin ekstrem Maret 2025 berdasar pengeluaran $2,15 per orang dalam sehari (2017 PPP), 2,38 juta orang (0,85 persen),” ujar Rizky di X @AwalilRizky (28/7/2025).
Padahal, kata dia, angka tersebut sejatinya masih menggunakan ukuran lama yang sudah diperbarui oleh Bank Dunia.
“Ditargetkan nol pada 2024 oleh Jokowi. Diulangi Prabowo untuk 2026. Tapi, standar Bank Dunia telah berubah menjadi $3,00 (2021 PPP), dan 15,42 juta orang (5,44 persen) pada 2024,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, Bank Dunia juga memiliki ukuran baru untuk negara berpendapatan menengah atas, yakni pengeluaran US\$8,20 per orang per hari (2021 PPP).
Dalam kategori ini, jumlah penduduk Indonesia yang masuk kelompok miskin jauh lebih besar.
“Indonesia pada 2024 mencapai 193,49 juta orang (68,25 persen),” tandasnya.
Awalil menyayangkan sikap pemerintah yang hanya mengklaim Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas secara status, tetapi menolak menggunakan standar pengukuran kemiskinan yang sesuai.
“Pemerintah sering menyebut kita masuk kelompok menengah atas, tapi enggan ukuran ini,” tegasnya.
Sebelumnya, Anas Urbaningrum, angkat bicara mengenai penetapan garis kemiskinan terbaru oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar Rp609.160 per bulan.
Angka ini naik Rp13.918 dari sebelumnya Rp595.242 per bulan.
Meski mengapresiasi penyesuaian tersebut, Anas menilai batas itu belum mencerminkan kondisi riil untuk menentukan seseorang dikategorikan miskin atau tidak.
"Penyesuaian ini patut diapresiasi, tapi belum menciptakan batas yang tepat membedakan golongan miskin dan tidak miskin," ujar Anas di X @anasurbaninggrum (26/7/2025).
Anas mengusulkan agar garis kemiskinan dinaikkan menjadi Rp999.000 per bulan atau sekitar Rp33.275 per hari.
Angka ini, menurutnya, lebih mendekati standar hidup layak dibandingkan ketentuan BPS yang hanya Rp20.305 per hari.
"Dengan batas Rp999.000, persentase kemiskinan mungkin naik drastis, tapi ini lebih jujur. Angka bukan untuk kosmetik, melainkan dasar kerja bersama memerangi kemiskinan," tegasnya.
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu menegaskan, kemiskinan bukan sekadar persoalan angka, melainkan menyangkut harkat dan martabat hidup rakyat.
"Batas ini baru bermanfaat untuk menjaga dan memastikan bahwa prosentase kemiskinan bisa turun," ucap Anas.
Ia juga mendorong pemerintah untuk tidak hanya fokus pada penurunan persentase kemiskinan, melainkan juga meningkatkan kesejahteraan riil masyarakat melalui program-program yang tepat sasaran.
"Banyak program diteruskan dan disertai kreasi-kreasi baru. Dan sudah seharusnya bukan (sekadar) membebaskan dari garis kemiskinan," terangnya.
(Muhsin/fajar)