Jejak Kwik Kian Gie, Dari Rotterdam ke Kabinet Gus Dur

  • Bagikan
Kwik Kian Gie Meninggal Dunia

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Di usianya yang nyaris seabad, Kwik Kian Gie berpulang. Ekonom senior, tokoh nasional, dan pendobrak narasi ekonomi liberal itu meninggal dunia di usia 90 tahun, meninggalkan jejak pemikiran yang tak mudah dilupakan oleh bangsa ini.

Kabar duka itu pertama kali datang dari mantan Menko Polhukam Mahfud MD. Melalui akun X (dulu Twitter), Mahfud mengenang Kwik sebagai sosok lurus yang setia pada nuraninya.

“Kwik Kian Gie, tokoh cerdas dan lurus telah wafat. Semoga mendapat surga-Nya. Ada pepatah, patah tumbuh, hilang berganti. Mati satu, tumbuh seribu. Semoga benar, akan bermunculan generasi yang sebaik Kwiek Kian Gie dalam mencintai dan mengurus tanah air kita,” tulis Mahfud, Senin (28/7/2025).

Di tengah lanskap politik dan ekonomi yang kerap dikaburkan oleh kepentingan, Kwik berdiri sebagai suara jernih yang lantang—meski acapkali berdiri sendirian. Ia dikenal sebagai menteri Tionghoa pertama di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), saat menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri pada 1999–2000. Ia kemudian diangkat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas dari 2001 hingga 2004.

Lahir di Pati, Jawa Tengah, pada 11 Januari 1935, Kwik tumbuh sebagai anak dari keluarga keturunan Tionghoa yang tak ingin hidup hanya sebagai bagian dari statistik ekonomi. Ia sempat masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) pada 1955, namun merasa tidak menemukan panggilan batin di sana. Pilihan hatinya justru membawanya ke Negeri Belanda, tempat ia merampungkan studi ekonomi di Nederlandsche Economische Hogeschool—kini Erasmus Universiteit Rotterdam.

Sekembalinya ke Tanah Air, Kwik tak langsung masuk politik. Ia mengasah nalarnya dalam dunia keuangan dan bisnis, sebelum akhirnya merasa perlu ikut merumuskan arah kebijakan publik secara langsung. Ketika reformasi bergulir dan ruang demokrasi terbuka, Kwik menjelma menjadi pengingat bahwa ekonomi tak bisa hanya dihitung lewat angka, tapi juga rasa keadilan.

Sebagai kader PDI Perjuangan, Kwik kerap berbeda pendapat dari garis partai jika itu dirasa menyimpang dari kepentingan rakyat. Ia teguh memperjuangkan ekonomi kerakyatan dan menolak liberalisasi yang menurutnya bisa menggerus kedaulatan bangsa. Banyak pihak menilai, keberanian itulah yang membuatnya lebih dikenal sebagai pemikir independen ketimbang politisi partai.

Kwik tak hanya menyumbangkan gagasan lewat jabatan menteri. Ia juga seorang pendidik yang ikut mendirikan Institut Manajemen Prasetiya Mulya pada 1982, bersama Prof. Panglaykim. Ia kemudian menggagas berdirinya Institut Bisnis dan Informatika Indonesia sebagai bentuk dedikasinya dalam mencetak generasi intelektual yang berpijak pada nilai-nilai kejujuran dan nalar kritis.

Dalam bidang literasi, Kwik produktif menulis dan menganalisis. Rubrik khasnya, “Analisis Kwik Kian Gie”, menjadi referensi banyak orang untuk memahami ekonomi dalam bahasa yang bisa dijangkau semua kalangan. Salah satu buku terkenalnya, Saya Bermimpi Menjadi Konglomerat (1993), mengungkap sisi satir dan renungan tentang mimpi masyarakat terhadap dunia usaha dan ketimpangan yang menyertainya.

Kini, Indonesia kehilangan sosok yang kerap menjadi suara nurani di tengah riuhnya politik dan angka-angka statistik. Kwik Kian Gie telah pergi, tapi gagasan dan keberaniannya akan terus hidup dalam diskusi ekonomi, politik, dan masa depan bangsa. (muhsin/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan