FAJAR.CO.ID — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) juga melarang wakil menteri (wamen) rangkap jabatan. Namun, pemerintah mengabaikan putusan MK dengan berbagai dalih.
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai sikap pemerintah mengabaikan putusan MK yang melarang wamen rangkap jabatan bukan karena tidak mengerti. Justru mereka pintar.
"Makanya, argumen hukum di(salah)gunakan. Sikap mengabaikan putusan pengadilan yang mengontrol kekuasaan adalah salah satu ciri utama negara otoriter," urai Bivitri Susanti melalui akun pribadi media sosialnya di platform Instagram dan Threads.
“Sebenarnya boleh nggak wamen rangkap jabatan? Ini bisa dijawab dari dua aspek, yaitu hukum dan kepatutan,” kata Bivitri dikutip dari unggahannya di Threads, Selasa (29/7/2025).
Namun pada praktiknya, hukum malah dijadikan justifikasi untuk melakukan keculasan. Padahal, soal pejabat rangkap jabatan, MK telah membuat putusan terhadap dua perkara. Ada putusan nomor 80 tahun 2019 dan Nomor 21 tahun 2025.
“Pada Juni 2025, pemohon perkara tahun 2025 meninggal. Maka perkaranya gugur, tapi dua perkara ini berbeda. Bukan berarti wamen jadi boleh rangkap jabatan,” jelasnya.
Hakim MK pun mempertegas dalam sidang bahwa meskipun perkara 2025 gugur karena pemohonnya meninggal dunia, tetapi sudah ada putusan nomor 80/PUU-XVII/2019 yang mengatakan wakil menteri tidak boleh rangkap jabatan,” tambahnya.
Namun, pemerintah juga menyebut putusan MK tidak perlu dituruti, karena bukan amar putusan.
Bivitri Susanti lalu menjelaskan soal putusan MK yang dijadikan dalih oleh pemerintah untuk membenarkan pengangkatan wamen rangkap jabatan.
“Perlu dipahami, putusan pengadilan itu tidak seperti putusan politik yang cuma instruksi. Putusan pengadilan itu pada dasarnya memuat amar putusan,” terang pengajar Jentera Law School itu.
Menurut Bivitri, amar putusan langsung menjawab apa yang diminta oleh pemohon atau penggugat. Atau penuntut umum kalau pidana. Yaitu dikabulkan atau ditolak atau tidak bisa diterima. Misalnya pemohon tidak punya legal standing.
“Nah, hakim itu tidak boleh bawel di situ. Alasan hakim menolak atau menerima atau hanya dapat diterima, wajib juga dimuat dalam putusan,” ujarnya.
Dalam amar putusan itu juga ada yang namanya pertimbangan hukum. Fungsinya bukan hanya tanggung jawab etik hakim untuk menjelaskan penalaran hukum atau rasio desidensi dari putusannya," kata Bivitri.
Pertimbangan hukum juga memuat apa yang ada di dalam pikiran para hakim dalam menyelesaikan masalah sosial secara lebih kompherensif.
Bivitri juga menjelaskan, hakim merupakan pembuat hukum melalui putusan. Kaidah hukum istilahnya.
Ia mencontohkan, yurisprudensi MA memuat kaedah hukum baru yang ditemukan oleh hakim. Dalam ilmu hukum, itu dinamakan penemuan hukum. "Itu yang kurang dipahami," jelasnya.
Menurutnya, kaidah hukum dari hakim justru bisa ditemukan dari ratio decidendi, bukan di amar putusan.
Sebagai kaidah hukum, ia justru wajib diikuti sebagai perintah pengadilan atau judicial order. "Nah, amar putusan 80/PUU-XVII/2019 ini memang bilang tidak dapat diterima, karena pemohonnya tidak punya legal standing,” paparnya.
Di luar boleh atau tidaknya dari segi hukum. Bivitri mengatakan, pertanyaan tersebut bisa dijawab dari aspek kepatutan.
Ia pun memaparkan buruknya rangkap jabatan. Pertama, kompetensi.
“Ukurannya harus dari rekam jejak. Bukan jabatan lain. Dua, dan ini yang penting sekali, potensi benturan kepentingan. Tiga, gaji double, ini bukan kecemburuan sosial ya. Tapi penggunaan uang negara,” jelasnya.
Menurut Bivitri, jika pemerintah memang kasihan dengan gaji menteri dan wamen yang kekecilan, maka yang perlu diselesaikan adalah akar masalahnya. Soal sistem anggaran.
“Jangan kebanyakan di protokoler seperti mobil dan pengawalan tetot tetot. Kalau mau bereskan ini, bereskan dulu kompetensinya,” pungkasnya.
Soal pemerintah yang mengabaikan putusan MK. Menurutnya itu bukan karena tidak ngerti, tapi malah karena pintar sehingga argumen hukum malah di(salah)gunakan.
“Mengabaikan putusan pengadilan yang mengontrol kekuasaan seperti ini adalah salah satu ciri utama negara otoriter,” tegas Bivitri.
Adapun putusan MK yang dilanggar itu berbunyi: “seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri. Pemberlakuan demikian dimaksudkan agar wakil menteri fokus pada beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus di kementeriannya sebagai alasan perlunya diangkat wakil menteri di kementerian tertentu.”
Ia memberi contoh, soal pertimbangan hukum sebagai bagian tak terpisahkan dari putusan, sumber literaturnya banyak sekali, mudah dicari bila tertarik.
“Ada makalah saya juga soal ini untuk keterangan ahli di pengadilan dan bahan ajar di kelas Penalaran Hukum yang saya ampu di @jenteralawschool,” tandasnya. (Arya/Fajar)