FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Selain dugaan penuh dengan rekayasa, penetapan angka 45 pada reuni dadakan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) juga mencuri perhatian.
Muncul spekulasi bahwa persiapannya terkesan terburu-buru sehingga penetapan angka reuni menjadi ke-45.
Pasalnya, jika dihitung dari 1985, maka mestinya reuni 45 tahun Fakultas Kehutanan baru akan dilaksanakan pada 2030 mendatang.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Telematika, Roy Suryo, mengatakan bahwa mestinya Jambrung Saksono yang mengaku rekan seangkatan Jokowi mampu menjelaskan spekulasi tersebut.
"Mungkin bisa ditanyakan ke salah satu rekan Angkatannya yg sempat dipanggil kedepan saat reuni-reunian itu, Jambrung Saksono, yang kata Jokowi ambil kuliah Matematika sampai 8 kali," kata Roy kepada fajar.co.id, Rabu (30/7/2025).
Roy bilang, jika mereka menghitung mulai dari 1980, maka tidak akan menjadi masalah. Hanya saja, bukan reuni melainkan ketemu biasa.
"Sebenarnya boleh-boleh saja kalau mau dihitung mulai tahun 1980, tapi bukan reuni namanya, karena sampai tahun 1985 kalau ketemu namanya bukan reuni karena masih pada kuliah di Kampus," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, Koordinator Relagama Bergerak Bangun Sutoto, kembali bersuara mengenai reuni dadakan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Sabtu (26/7/2025) kemarin.
Setelah menudingnya sebagai agenda yang penuh rekayasa, Bangun ini menggunakan kalimat konspirasi jahat dan alumni palsu.
"Belum usai polemik ijazah palsu, sudah muncul indikasi kepalsuan status alumni UGM. Tampak ada konspirasi jahat yang direkayasa dengan aksi dan narasi," ujar Bangun kepada fajar.co.id, Rabu (30/7/2025).
Dikatakan Bangun, aksi reuni pada Sabtu kemarin dengan kostum biru, justru menjadi cerita lucu tidak mutu yang justru jadi sejarah kelabu.
"Reuni abu-abu di Kampus Biru, menghadirkan sejumlah alumni palsu. Pertanyaan pentingnya, apa mereka bisa dipastikan punya kartu anggota Kagama (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada) asli? Tolong jangan tanya saya," singgungnya.
Alumnus Fisipol UGM ini menuturkan bahwa setiap alumni UGM saat wisuda menerima dua dokumen asli pribadi atas nama yang bersangkutan, ijazah dan kartu alumni.
Diceritakan Bangun, ketika dirinya wisuda pada Pebruari 2005, kartu alumni tersebut berupa secarik kertas seukuran KTP.
"Tapi kini sudah dirancang lebih modern yang berbentuk kartu ATM karena memang telah ada kerja sama antara PP Kagama dan sejumlah bank BUMN kita," tukasnya.
Adapun mengenai kartu alumni Jokowi, menariknya karena diserahkan sendiri oleh Ganjar Pranowo selaku Ketua Umum PP Kagama didampingi Ari Dwipayana selaku Sekretaris Umum di Jakarta.
"Tepatnya pada 12 September 2017 saat rapat kerja terbatas kabinet. Tentu saja ini amat menarik untuk disilikidik. Itu kata Asmui Srimulat. Jadi, mari kita selidiki bersama tanpa harus melibatkan penyelidik mabes Polri," jelas Bangun.
Bangun pun semakin bertanya-tanya, kenapa tidak diserahkan saat momentum Dies Natalis UGM 2017 yang saat itu hanya menyisakan waktu 3 bulan.
"Dan kenapa justru pihak PP Kagama yang menyerahkan? Yang butuh kartu itu siapa? Bagi kami para alumni asli ini, kartu itu memang jadi penanda dan bukti sebagai alumni UGM. Toh tidak banyak atau sering digunakan untuk identitas diri," sebutnya.
Kata Bangun, yang paling penting dan jadi syarat umum untuk mengubah nasib adalah ijazah. Dengan ijazah, setiap orang punya kesempatan memasuki ekskalator nasib bagi masa depannya.
"Misalnya untuk melanjutkan pendidikan lagi atau melamar ke dunia kerja formal. Itu pentingnya ijazah. 12 September 2017 telah menjadi bagian sejarah yang tidak bisa diubah. Bicara kaitan tanggal, bulan, dan tahun, jadi teringat dengan teori 'gothak gathik gathuk'-nya Prof. Damardjati Supadjar rahimahullah, dosen mata kuliah Filsafat Pancasila dan salah satu narasum kajian Islam secara rutin di radio swasta Jogja idola penulis saat itu," imbuhnya. (Muhsin/fajar)