Mantan Ketua KONI Makassar Dituntut 6 Tahun Penjara, Kuasa Hukum: Dia Ditangkap dan Diadili Tanpa Dasar

  • Bagikan
Mantan Ketua KONI Kota Makassar, Ahmad Susanto

FAJAR.CO.ID, Makassar – Mantan Ketua KONI Kota Makassar, Ahmad Susanto hanya bisa menghela nafas panjang. Rasa kecewa terlihat jelas di wajahnya.

Jaksa Penuntut Umum (JPU), Yamin, membacakan tuntutannya, di Ruang Sidang Arifin Tumpa. ‎”Meminta Majelis Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ahmad Susanto dengan pidana penjara enam tahun, denda Rp109 juta subsidair tiga bulan penjara, dan membayar uang pengganti sebesar Rp4,674 miliar,” kata Jaksa, Senin (28/7/2025).

Ahmad Susanto menjadi target utama dalam kasus dugaan korupsi dana hibah KONI Kota Makassar tahun 2022 dan 2023. Proses sidang terus bergulir. Namun banyak hal yang dianggap janggal.

Berdasarkan informan FAJAR, kasus ini seperti dipaksakan. Mirip seperti kasus Tom Lembong, banyak hal tidak terbukti di persidangan, namun diganjar ancaman berat.

Dia membeberkan, sebelum penyelidikan dimulai, Ahmad Susanto sudah mendapat ancaman kriminalisasi. Itu terjadi berkali-kali, mulai November dan Desember 2023, juga Januari 2024.

Pada akhirnya penyidikan dimulai pada Agustus 2024. Ini dianggap sangat politis, sebab penyelidikan dilakukan persis satu pekan setelah tim dan jaringannya mendeklarasikan dukungan untuk Appi–Aliyah di Pilwalkot Makassar.

”Terus beliau ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan pada 9 Desember 2024. Itu dua pekan setelah Pilwalkot. Malah ada upaya penahanan sebelum Pilwalkot juga, itu November 2024,” terangnya.

Dia juga menyampaikan, kasus ini pada dasarnya tidak mengandung laporan penyimpangan. Baik dari Atlet, Cabor, atau masyarakat.

”Yang ada itu Kejari meminta seluruh laporan tahun 2022 dan 2023 kemudian mencari-cari kesalahan dalam laporan tersebut dan dimulailah penyelidikan,” imbuhnya.

Kemudian, kuasa hukum Ahmad Susanto, Budi menyampaikan, kliennya ditangkap dan diadili tanpa dasar. Kata dia, tidak ada temuan BPK terhadap pengelolaan dana hibah KONI. Bahkan hasil audit KAP, KONI mendapat predikat WTP dalam tiga tahun berturut-turut.

”Jaksa meminta perhitungan kerugian negara kepada BPKP, padahal yang berhak menghitung kerugian negara adalah BPK, sesuai pasal 1 angka 15 dan pasal 10 ayat 1 UU Nomor tahun 2006.

Dia juga menilai, hal paling aneh adalah penahanan dilakukan sebelum perhitungan BPKP dilakukan. Penghitungan itu dimulai Februari 2024 dan hasil perhitungan kerugian Negara keluar pada Mei 2025 atau lima bulan setelah AS ditahan. Padahal menurutnya, penahanan seharusnya dilakukan atas dasar hitugan kerugian negara.

”Di dalam persidangan terungkap, BPKP tidak punya dasar yang jelas atau UU yang dilanggar untuk menghitung kerugian negara pada lembaga seperti KONI. Bahkan dalam pernyataanya, BPKP mengatakan berdasarkan perasaan dan mengait-ngaitkan dengan UU yang tidak mengatur KONI,” jelasnya.

Dia juga mengaku, setelah mencari-cari kesalahan laporan keuangan KONI, dia menilai hal yang dapat dipersoalkan adalah elisih tunjangan pengurus KONI, yaitu perbedaan jumlah tunjangan pada SK dan daftar penerimaan tunjangan. Padahal Jaksa hanya berdasar pada SK lama sebelum kenaikan tanpa menampilkan SK perbaikan tunjangan.

Pemberian honor kepada tim pembahas proposal KONI dan satgas percepatan program strategis KONI jug dianggap duplikasi dengan tunjangan bulanan, padahal pada umumnya instansi atau satuan kerja mana pun, bahkan pada kejaksaan sendiri meski telah menerima gaji bulanan, tetapi pada kegiatan tertentu bisa mendapatkan honor lain dan tidak ada UU yang dilanggar.

Perjalanan dinas (study banding pengurus KONI) dengan surat tugas tiga hari juga dipersoalkan, sebal pelaksaan kegiatan hanya satu hari. Maka sisa hari dihitung sebagai kesalahan dan kerugian negara.

”Padahal pada umumnya, semua instansi dalam perjalanan dinas dihitung berdasarkan harinya untuk kedatangan, kegiatan dan kepulangan. Jadi biar pun kegiatan satu jam atau satu hari, surat tugas pasti tiga hari,” bebernya.

Dia juga menyampaikan, dakwaan tidak mengembalikan sisa dana kas KONI tahun akumulatif 2022 dan 2023 dipersoalkan.

Padahal, dana tersebut telah teraudit oleh BPK dan digunakan kembali pada tahun anggaran berikutnya dan tidak ada satu aturan pun yang merujuk untuk pengembalian sisa dana kas hibah. Sebab bantuan hibah adalah bantuan yang bersifat habis pakai dan dapat dipertanggungjawabkan.

Karena belum merasa cukup untuk tahun 2022 dan 2023, kata dia, diikutkanlah dalam dakwaan kegiatan tahun 2024 yang dianggap tidak ada laporan pertanggung jawaban.

Padahal, pada saat pemeriksaan (Maret–Agustus) masih tahun anggaran berjalan. ”Laporan akan selesai 31 Desember. Selain itu, tahun 2024 bukan merupakan tahun perkara sebagaimana sprindik kejaksaaan sendiri,” imbuhnya.

Khusus untuk event organizer, kata Budi, KONI didakwa dengan keterlambatan pembayaran pajak jegiatan Porkot 2024. Padahal, batas waktu pelunasan pajak adalah dua tahun dan persoalan pajak sendiri bukan pelanggaran Tipikor.

Berdasarkan fakta persidangan, dia menilai kedudukan KONI adalah lembaga penerima hibah, bukan unsur penyelenggara negara yang dapat dijerat dengan UU tipikor.

Yang menjadi tersangka adalah pelaksana administrasi yaitu ketua, sekretaris, dan kepala secretariat, yang dinilai tidak berhubungan dengan tanggung jawab pengelolan keuangan.

”PA/KPA/PPK dana hibah adalah Kadispora, bukan Ketua KONI. Dalam hal pengawasan, tentu ini dianggap tidak ada masalah karena Kadispora tidak turut menjadi tersangka. Jadi tidak ada masalah dalam pengelolaan keuangan KONI karena bendahara/wakil bendahara bertanggung jawab dalam alur kas dan pengelolaan keuangan juga tidak menjadi tersangka,” tuturnya.

Dia juga menegaskan, tidak ada aliran dana atau mendapat keuntungan untuk terdakwa Rp1 pun atau menguntungkan pihak lain. Tidak ada unsur byata dan terang terhadap UU yang dilanggar.

Seluruh UU yang disangkakan adalah UU yang mengatur kerja SKPD/OPD, bukan lembaga seperti KONI.

”Tujuan dana hibah kan mewujudkan prestasi olahraga Makassar dan KONI sukses dengan Porkot 2023 dengan mencetak 4.000 atlet baru, medali emas sepak bola setelah 30 tahun di Porprov, berbagai rekor dan pencapaian prestasi. Ahmad Susanto juga penerima PIN emas kategori prestasi olahraga skala kota terbaik 2022 dan 2023,” terangnya.

Dengan begitu, dia menilai kasus ini hanya masalah administrasi. Sebab lebih dari 20 persidangan, yang dibahas adalah mekanisme pengelolaan Internal KONI yang sama sekali tidak diatur dalam UU mana pun.

”Sehingga, sekali pun terdapat pelanggaran maka bersifat administratif atau sangksi organisasi,” jelasnya. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan