FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Sejarawan Indonesia, Anhar Gonggong menyatakan Demokrasi Indonesia masih menjadi permasalahan hingga saat ini.
Pasalnya kata dia, masyarakat Indonesia adalah masyarakat feodal tapi para pejuang ketika dalam periode pergerakan nasional semua sepakat jika Indonesia merdeka, maka pemerintah yang dijalankan adalah pemerintahan yang Demokrasi.
“Mereka sepakat bahwa Negara yang akan kita bangun ini adalah Negara Demokrasi. Nah ada permasalahannya adalah walaupun mereka semua, sepakat, setuju bahwa untuk menciptakan Demokrasi setelah Indonesia merdeka, tapi ada persoalan yang dihadapi yaitu jenis demokrasi apa yang akan dijalankan,” kata Anhar Gonggong dikutip kanal YouTube-nya, dengan judul “Belum Ada Demokrasi yang Berjalan, Satu Bulan Menuju Kemerdekaan RI”, Rabu, (30/7/2025).
Setelah 80 tahun Indonesia merdeka, dalam perjalanannya sudah tiga demokrasi yang dijalankan. Pertama dari 1945-1950 yakni demokrasi liberal.
Setelah tahun 1950-1958, kata Anhar disitulah terjadi pencaharian demokrasi pertama.
Disitu kata dia ada persoalannya karena Indonesia menggunakan demokrasi itu tanpa ada pengalaman sebelumnya.
Dengan demokrasi liberal, pemerintah tidak bisa berjalan secara stabil. “Hanya pemerintahan Djuanda yang dua tahun,” ujarnya.
“Sepanjang hidup saya dari demokrasi pertama hingga sekarang, belum pernah ada demokrasi yang berjalan di Indonesia. Secara harfiah ataupun aktualisasinya. Apakah akan ada demokrasi yang berjalan panjang dengan baik. Demokrasi apa yang benar untuk Indonesia?,” ujarnya.
Pada Demokrasi Parlementer / Liberal (1950–1959), Mlmenggunakan UUD Sementara 1950, Indonesia menerapkan sistem parlementer dan multi-partai, di mana kekuasaan eksekutif dipegang oleh perdana menteri, sedangkan presiden hanya sebagai kepala negara.
Pemilu pertama digelar pada 1955, yang menghasilkan berbagai partai besar seperti PNI, Masyumi, PKI, dan NU.
Namun, proses politik sangat tidak stabil: dalam kurang dari satu dekade terjadi tujuh kali pergantian kabinet, disebabkan oleh konflik antar partai dan kelemahan ekonomi.
Selanjutnya, Demokrasi Terpimpin (1959–1966). Karena Konstituante gagal membentuk konstitusi baru, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, membubarkan Konstituante, kembali mengaktikan UUD 1945, serta membentuk MPRS dan DPR-GR.
Kekuasaan terkonsentrasi penuh di tangan presiden. Sistem politik dibuat kaku dengan ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), pembungkaman oposisi, pengaruh militer yang signifikan, serta perlakuan represif terhadap partai politik (partai dipaksa bergabung bawah satu bendera singkat).
Selanjutnya, Demokrasi Pancasila / Era Orde Baru (1966–1998). Setelah peristiwa G30S/PKI pada 1965, Soeharto naik dan memulai rezim Orde Baru, berdasar Demokrasi Pancasila, dengan Pancasila sebagai ideologi tunggal dan kontrol kuat atas media serta partai-partai.
Meskipun membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, era ini terkenal akan repressi terhadap kebebasan politik dan praktik korupsi serta nepotisme yang meluas.
Lalu, Demokrasi Reformasi (1998–sekarang). Kisis keuangan Asia dan tekanan publik memaksa Soeharto mundur pada 21 Mei 1998, menandai berakhirnya Orde Baru dan lahirnya era Reformasi. B. J. Habibie sampai Jokowi memimpin demokrasi yang lebih terbuka dan berbasis Pancasila secara lebih fungsional.
Reformasi membawa sejumlah perubahan konstitusional: pembatasan jabatan presiden maksimal dua periode, pemilu presiden secara langsung, pembentukan lembaga seperti DPD, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).